BKD Provinsi Riau

Perjalanan Panjang Penerapan Sistem Merit

1,525

Oleh:
Ferry Elwind

Kepala Sub Bidang Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian BKD Provinsi Riau.

Merit Sistem di Indonesia merupakan bagian dari agenda reformasi birokrasi yang di awali dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah melalui pendekatan kelembagaan yaitu menyelenggarakan penambahan fungsi dalam Kementerian PAN yang disebut sebagai pelaksanaan percepatan reformasi birokrasi. Meskipun beberapa pihak mengatakan bahwa menambahkan “reformasi birokrasi” setelah pendayagunaan aparatur negara merupakan hal yang tumpang tindih, karena fungsi Pemberdayaan Aparatur Negara adalah melakukan reformasi birokrasi, namun secara psikologis hal ini diperlukan untuk menunjukkan fungsi baru sebuah lembaga.

Pendekatan kedua adalah dibentuknya lembaga non-struktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan ASN yang profesional dan berkinerja tinggi yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Selain pendekatan kelembagaan, Indonesia juga menyelenggarakan reformasi birokrasi melalui pendekatan legal formal yaitu pembentukan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara mengamanatkan penerapan sistem merit dalam kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Undang-Undang tersebut, sistem merit didefinisikan sebagai kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, yang diberlakukan secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi. Tujuan penerapan sistem merit adalah untuk memastikan jabatan di birokrasi pemerintah diduduki oleh orang-orang yang profesional, dalam arti kompeten dan melaksanakan tugas berdasarkan nilai dasar, kode etik dan kode perilaku ASN.

Dua pendekatan diatas kemudian di tindaklanjuti dengan langkah strategis untuk memperbaiki kualitas ASN di Indonesia dengan cara memperbaiki sistem seleksi ASN yang lebih menekankan pada meritokrasi. Sistem seleksi ASN terutama untuk Pejabat Tinggi dilakukan dengan cara yang benar. Salah satu cara untuk memilih pejabat pimpinan tinggi secara obyektif melalui seleksi terbuka yang juga diharapkan dapat mengurangi praktek pengangkatan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) didasarkan pada koneksi politik yang mendorong terjadinya keberpihakan dalam pembuatan kebijakan maupun penyelenggaraan pelayanan publik.

Seleksi terbuka cukup berhasil mengurangi praktek spoil system, meskipun hasil seleksi terbuka kadang-kadang tidak sesuai dengan kebutuhan instansi, oleh karena pegawai tidak dipersiapkan dengan baik untuk menduduki jabatan pimpinan. Untuk itu dalam rangka menjamin ketersediaan para calon pemimpin yang sesuai kebutuhan saat ini dan di masa mendatang maka instansi harus membangun sistem merit dalam manajemen ASN di instansinya secara lebih komprehensif.  Penyiapan dimulai dari perencanaan kebutuhan pegawai, rekrutmen calon pegawai, pembinaan karier, manajemen kinerja sampai dengan penyediaan sistem reward and punishment guna mempertahankan pegawai yang potensial. Namun sampai saat ini, seleksi jabatan tinggi baik pratama, madya maupun utama masih saja menemui berbagai hambatan.

  • Merit dan Meritokrasi

Birokrasi adalah elemen yang penting bagi pencapaian tujuan negara, sehingga diperlukan sebuah manajemen yang baik untuk mengelola personel di dalam birokrasi.  Birokrasi kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan politik maupun  ekonomi suatu masyarakat. Semakin modern suatu masyarakat, dalam arti  semakin demokratis dan semakin makmur ekonomi mereka, akan semakin banyak tuntutan baru. Berkembangnya jaringan birokrasi (bureaucratization) adalah upaya memenuhi tuntutan  baru  tersebut (Meier & O’Toole, 2006).

Andrews, Boyne, and Walker (2006) menjelaskan bahwa unsur manusia dalam organisasi  tidak hanya sekadar bersifat pasif, namun cenderung dimaknai sebagai suatu yang bersifat aktif yang siap mengembangkan diri demi kelangsungan dan tujuan organisasi. Di sinilah pentingnya manajemen sumber daya manusia sebagai salah  satu  instrumen penting bagi birokrasi dalam mencapai berbagai tujuannya. Bagi sektor publik, tanggung jawab besar birokrasi dalam memberi pelayanan kepada masyarakat harus didukung oleh sumber daya aparatur yang profesional dan kompeten. Dalam konteks reformasi birokrasi, meritokrasi birokrasi  merupakan salah  satu pilar perbaikan di samping aspek kelembagaan dan sistem. Merit secara epistimologis diartikan sebagai “a good quality which is deserve to be praised” atau hal-hal baik yang patut dihargai. Beberapa penelitian mencoba membangun batasan mengenai konsep merit sebagai sebuah sistem penilaian yang dibangun berdasarkan kinerja.

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Wungu and Brotoharsojo (2003), yang menyatakan bahwa sistem merit adalah sistem pengelolaan sumber daya manusia yang didasarkan pada prestasi atau segenap perilaku kerja pegawai yang baik, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap naik atau turunnya jabatan dan penghasilan pegawai tersebut. Dengan demikian, yang dimaksud dengan meritokrasi adalah penerapan sistem penilaian yang mengutamakan atau memberi penghargaan kepada orang yang telah mencapai hal-hal baik. Secara lebih spesifik, meritokrasi dalam promosi pegawai dapat diartikan sebagai “…a formal, organized, planned effort to achieve a balance between individual carrerr needs and organizational factors…” (Castilla & Benard, 2010, p. 543) atau upaya formal, terorganisir, terencana untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan karir individu dan faktor organisasi. Namun demikian, definisi umum tersebut di atas cukup sulit untuk dioperasionalisasikan ke dalam indikator dan variabel. Sampai saat ini tidak ada batasan operasionalisasi konsep merit dan meritokrasi organisasi.

Sebagaimana dijelaskan oleh Sen (2000), bahwa definisi sistem merit sangat tergantung pada lingkungan sosial dimana sistem itu diterapkan. Definisi merit pada sebuah masyarakat atau organisasi tertentu barangkali berbeda dengan definisi merit pada tempat yang lainnya. Sistem nilai serta tujuan organisasi itulah yang kemudian mendefinisikan konsep merit sesuai dengan kebutuhannya. Mereka berargumentasi bahwa batasan merit harus disusun dengan memperhatikan alat apa yang disusun untuk mengukur prestasi, dan apakah organisasi benar-benar mendapatkan manfaat dari prestasi tersebut. Dengan demikian, perlu diidentifikasi terlebih dahulu hal yang dianggap merupakan sebuah prestasi.

  • Penerapan Sistem Merit di Indonesia

System Merit atau meritokrasi adalah sebuah sistem yang menekankan kepada kepantasan seseorang untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu dalam sebuah organisasi. Kepantasan diartikan sebagai kemampuan perseorangan. Tanpa memandang latar belakang etnis, agama, afiliasi politik, atau status sosial mereka. Di negara-negara maju, merit system telah diterapkan sejak ratusan tahun lampau. Malah di dunia Barat, meritokrasi menjadi salah satu kunci keunggulan mereka dibandingkan peradaban lainnya di dunia.

Dalam lanskap perpolitikan Indonesia, setidaknya republik ini pernah dipimpin oleh perdana menteri yang menerapkan zaken cabinet yaitu di masa Sjahrir dan Ir. Juanda (suatu kabinet yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli dan bukan representasi dari suatu partai politik atau golongan tertentu), pemilihan menteri-menterinya berdasarkan keahlian dengan menerapkan sistem meritokrasi, ketika itu semua pos kementerian diisi orang-orang hebat dari berbagai latar belakang. Meski telah menerapkan merit system, namun kabinet ini hanya bertahan kurang dari dua tahun. Pada masa Demokrasi Terpimpin, pemerintahan Indonesia benar-benar tenggelam. Kabinet hanya diisi oleh orang-orang yang mau mendukung ideologi Nasakom.

Masuk ke masa Orde Baru, politik Indonesia agak membaik. Para teknokrat dan ekonom lulusan Barat, banyak direkrut. Mereka yang dikenal sebagai “Mafia Barkeley”, menjadi pilar utama kebangkitan ekonomi Indonesia. Orde Baru pada mulanya menerapkan sistem meritokrasi secara wajar. Namun setelah 10 tahun pememilihan anggota kabinet mulai berdasarkan kedekatan personal. Dari sinilah kemudian Reformasi 1998 bergulir, yang salah satu tuntutannya mengharamkan praktek-praktek nepotisme. Setelah Reformasi, ternyata meritokrasi belum benar-benar diterapkan. Pada masa ini, banyak menteri yang dipilih dari kalangan Nahdliyin yakni organisasi massa yang menjadi basis pendukung rezim, demikian juga periode berikutnya hingga tahun 2004, setali tiga uang dengan pendahulunya.

Pada masa selanjutnya, hanya menjalankan meritokrasi setengah-setengah, menerapkan sistem kepantasan pada menteri-menteri urusan teknis saja. Sedangkan untuk jabatan-jabatan non-teknis, lebih banyak diserahkan kepada para politisi yang terkadang kurang kredibel. Kurangnya meritokrasi pada sistem pemerintahan Indonesia, dikarenakan gagalnya partai politik melahirkan tokoh-tokoh yang mumpuni. Kondisi ini tentunya member pengaruh besar tehadap tatakelola pemerintahan terutama dalam hal penerapan manajemen ASN.

Penerapan sistem merit dalam manajemen ASN di instansi pemerintah merupakan sesuatu yang “urgent”, sebagai upaya untuk mewujudkan ASN yang profesional, guna mendukung tercapainya tujuan reformasi birokrasi,  yaitu birokrasi yang efisien, efektif, dan melayani. Perubahan yang cepat secara global harus diantisipasi oleh pemerintah dengan membangun human capital di sektor pemerintahan agar Indonesia mampu bersaing ditingkat global dan Indonesia dapat masuk dalam kelompok middle-upper countries. Hasil pemetaan penerapan Manajemen ASN yang telah dilakukan KASN di seluruh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Provinsi menunjukkan bahwa belum banyak instansi yang siap untuk menerapkan sistem merit. Berbagai prasyarat masih perlu disiapkan, namun instansi dihadapkan pada keterbatasan dana dan pengalaman dalam mengembangkan sistem merit. Komitmen yang tinggi dari pimpinan instansi sangat diperlukan dalam mewujudkan manajemen ASN yang berbasis merit.

  • Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa konsep sistem merit dalam manajemen sumber daya manusia adalah sebuah sistem yang menempatkan kompetensi dan kinerja pegawai sebagai pertimbangan utama dalam seleksi dan promosi. Sampai saat ini, tidak ada satu desain tunggal sistem merit yang bersifat universal, karena setiap negara akan melakukan penyesuaian dengan sistem hukum, sosial dan budaya masing-masing. Selanjutnya, sebagai sebuah sistem yang relatif baru di Indonesia, dinamika awal pelaksanaan sistem merit masih diwarnai dengan berbagai permasalahan teknis dan politis di tingkat daerah.

Berdasarkan hasil kajian teoretis dan praktis, dapat ditarik sebuah hubungan konseptual bahwa penerapan sistem merit dalam manajemen sumber daya aparatur sektor publik adalah sebuah kebijakan yang akan dipengaruhi oleh dua jenis lingkungan, yaitu lingkungan eksternal dari sistem politik yang berupa kekuasaan, pengaruh dan kontrol dari aktor politik dan lingkungan internal berupa dinamika kelembagaan dalam lingkungan birokrasi, yang meliputi  komunikasi, struktur birokrasi, sumber daya yang tersedia, dan kecenderungan perilaku para pelaksana kebijakan. Lingkungan eksternal dan internal akan memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan penerapan sistem merit dalam manajemen sumber daya manusia, yang pada dasarnya adalah sebuah sistem manajemen yang mengutamakan penilaian terhadap kinerja dan kompetensi sebagai basis bagi rekrutmen, seleksi dan promosi pegawai.

DAFTAR PUSTAKA

  • Andrews, R., Boyne, G. A., & Walker, R. M. (2006). Strategy content and organizational performance: An empirical analysis. Public Administration Review, 66(1), 5263.
  • Baird, Lloyd, 1986, Management and Organizational Behavior Series, WileySeries in Management.
  • Blanchard,  Ken,  And  Garry  Ridge.  2009. Helping  People  Win  at  Work.  New Jesrey:FT Press. 
  • Castilla, E. J., & Benard, S. (2010). The paradox of meritocracy in organizations. Administrative Science Quarterly, 55(4), 543-676.
  • Costello,  Sheila  J.  1994. Effective Performance  management,  New York:  Mc Graw-Hill Companies,inc. Dessler, Gary, 2003, Manajemen Sumber Daya Manusia 1 & 2, Edisi 8, Jakarta,PT. Prenhallindo.
  • Sen, A. (2000). Merit and justice. Meritocracy and economic inequality, 5-16.
  • Werther, William B dan Keith Davis. 1996. Human Resource and Personal Management, New York: Mc GrawHill, Fifth edition.
  • Wungu, J., & Brotoharsojo, H. (2003). Tingkatkan Kinerja Perusahaan Anda dengan Merit System. Jakarta: Rajagarafindo Persada.