BKD Provinsi Riau

Konvergensi Dalam Percepatan Penurunan Stunting

1,562

Penulis : Heri Yanto

Pemerhati Stunting

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan balita yang se-umur. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi calon ibu/remaja, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita yang stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal sehingga  dapat  mempengaruhi sumber  daya  manusia di masa  depan.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan penurunan prevalensi stunting balita di tingkat nasional sebesar 6,4% selama periode 5 tahun, yaitu dari 37,2% pada tahun 2013  menjadi 30.8% pada tahun 2018. Pada  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 telah ditargetkan pada tahun 2024 prevalensi Stunting turun menjadi 14%.  Sementara di Provinsi Riau prevalensi Stunting dari 36,8% pada tahun 2013 menurun menjadi 27,4% pada tahun 2018, dengan target penurunan sebesar 9,4% selama 5 tahun.

Penanganan penurunan stunting di Provinsi Riau sudah dimulai pada tahun 2018 pada  10 (sepuluh) desa lokus di Kab. Rokan Hulu, selanjutnya pada tahun 2019 ditetapkan 10 (sepuluh) lokus di Kab.Kampar. Tahun 2021 sudah ditetapkan sebanyak 162 desa/kelurahan lokus di 10 (sepuluh) Kabupaten/ Kota yaitu : Kab. Kampar, Rokan Hulu, Pelalawan, Rokan Hilir, Kep. Meranti, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pekanbaru, Siak,dan Bengkalis.

Dalam  upaya  penurunan stunting, Pemerintah telah menetapkan  Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) yang bertujuan untuk mempercepat penurunan Stunting dalam kerangka kebijakan dan institusi yang ada.   Terdapat 5 (lima) pilar dalam strategi nasional tersebut, yaitu: 1) komitmen dan visi kepemimpinan; 2) Kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku; 3) Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program pusat, daerah, dan desa; 4) Gizi dan ketahanan pangan; dan 5) Pemantauan dan evaluasi. Strategi ini diselenggarakan di semua tingkatan pemerintah dengan melibatkan berbagai institusi pemerintah yang terkait maupun pihak non pemerintah seperti swasta, masyarakat, dan komunitas.

Pilar ke-3 yaitu Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program pusat, daerah, dan desa serta peran para pihak yang bertujuan untuk memperkuat konvergensi melalui koordinasi dan konsolidasi program dan kegiatan pusat, daerah, dan desa serta para pihak .

Pelaksananaan aksi konvergensi penurunan Stunting dilakukan melalui pelaksanaan 8 (delapan) aksi konvergensi yakni (1) analisis situasi, (rencana kegiatan), (3) Rembuk Stunting, (4) Perwali/Perbup Peran Desa/Kelurahan, (5) Pembinaan Kader Pembangunan Manusia, (6) Sistim Manajemen Data, (7) Pengukuran dan Publikasi Data Stunting, dan (8) Reviu Kinerja  Tahunan. Delapan  aksi konvergensi tersebut dilakukan  mulai dari proses  perencanaan, penganggaran, implementasi, pemantauan, dan evaluasi program/kegiatan. Pelaksanaan aksi konvergensi dilakukan melalui intervensi gizi spesifik (kegiatan yang langsung mengatasi terjadinya stunting seperti asupan makanan, infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, dan kesehatan lingkungan ) dan sensitif  (upaya- upaya untuk mencegah dan mengurangi masalah gizi secara tidak langsung, yang pada umumnya dilakukan oleh sektor non kesehatan) dengan sasaran Rumah Tangga 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang dapat mengakses layanan 20 indikator penurunan stunting  secara lengkap (konvergen)  di lokus stunting dengan menyelaraskan berbagai  sumberdaya yang dimiliki.

Dalam pelaksanaan konvergensi  penurunan stunting beberapa tahun  terakhir banyak kendala  yang dihadapi mulai dari data cakupan pengukuran/penimbangan  balita di posyandu/Faskes di Riau yang diinput melalui E-PPGM masih di bawah 80 persen dimana  jumlah  balita  yang diukur  pada  bulan  penimbangan  februari 2021 baru  mencapai 64,19%, Desa-desa lokus yang telah dibinapun masih terdapat kasus balita stunting begitu juga dengan desa diluar lokus stunting yang ditetapkan oleh pemerintah daerah, hal  ini  juga  diperparah  dengan  adanya  kondisi  pandemic Covid-19 yang  secara langsung  juga  mempengaruhi  kinerja penanganan Stunting. Hal  lainnya yang  mempengaruhi adalah  belum  digunakannya  satu sistim  data  yang  menjadi  acuan  Bersama  untuk  melakukan aksi konvergen pada  lokus  yang  telah  ditetapkan yang  tentunya setelah  melalui analisis yang kuat  berdasarkan data  hasil  penimbangan  balita  yang dapat  dipertanggungjawabkan

Upaya untuk penurunan stunting ini perlu dilakukan  penguatan dengan dukungan semua pihak baik pemerintah, swasta, perguruan tinggi maupun masyarakat melalui intervensi spesifik maupun sensititif. Semoga  hal  ini dapat  terwujud dalam rangka menyongsong bonus  demografi 2030-2040 dan mewujudkan  Indonesia  Emas di  tahun 2045 nantinya.