Hedonic Treadmill dalam Karier ASN: Dari Mengejar Kebahagiaan ke Menemukan Makna
				Oleh: Harry Prabowo, S.STP., M.E
Perencana Ahli Madya BKD Provinsi Riau
Kita semua pernah merasakan momen ketika segala sesuatu tampak berpihak kepada kita: diterima sebagai CPNS, menjalani Latsar dengan bangga, menerima SK pengangkatan 100%, meraih kenaikan pangkat, atau menyaksikan angka gaji dan TPP meningkat.
Pada saat itu, rasanya seperti pencapaian besar. Sebuah bukti perjalanan, kerja keras, dan pengakuan.
Namun seiring waktu, rasa bangga itu perlahan mereda. Hal yang dulu terasa istimewa berubah menjadi rutinitas. Kita tidak lagi merasakannya sebagai sesuatu yang spesial, melainkan “bagian biasa dari pekerjaan”. Pikiran pun mulai melayang ke promosi berikutnya.
Mengapa perasaan itu tidak bertahan lama?
Euforia yang Memudar
Dalam birokrasi, karier ASN disusun dalam serangkaian tonggak yang terstruktur: CPNS kemudian PNS, dilanjutkan dengan Kenaikan Pangkat baik Reguler maupun Pilihan, Penilaian Kinerja, hingga Promosi Jabatan baik Struktural maupun Fungsional. Siklus ini memberi kita arah dan kepastian.
Namun di sisi emosional, struktur yang memberikan kepastian ini membuka ruang bagi pola yang sama: euforia, lalu adaptasi, kemudian datar kembali, dan akhirnya mencari sesuatu yang baru.
Ambil contoh seorang ASN pelaksana yang baru naik pangkat. Minggu pertama, ia merayakannya. Bulan pertama, TPP yang meningkat memberi senyum kecil. Tapi memasuki bulan ketiga? Angka itu sudah biasa. Dan tanpa sadar, pikiran mulai melayang: “Kalau sudah naik lagi ke golongan berikutnya, pasti lebih enak lagi.”
Kita merayakan pencapaian, lalu kita terbiasa dengan status dan pendapatan baru itu, lalu kita mulai merasa biasa saja, lalu kita mulai mengarahkan pandangan ke tonggak berikutnya.
Fenomena ini bukanlah kegagalan personal. Ini adalah mekanisme psikologis mendasar yang dikenal sebagai Hedonic Treadmill, sebuah kondisi di mana kita terus berlari mengejar kebahagiaan, tetapi seperti berlari di atas treadmill: banyak usaha, tetapi posisi kita relatif tidak berubah.
Memahami Mesin Treadmill Kita
1. Psikologi: Hedonic Treadmill
Konsep ini diperkenalkan pada tahun 1971 oleh psikolog Philip Brickman dan Donald Campbell. Mereka berteori bahwa manusia memiliki titik dasar (baseline) kebahagiaan yang relatif stabil. Peristiwa besar dalam hidup, baik positif seperti promosi ASN maupun negatif seperti demosi, akan mengguncang kebahagiaan kita untuk sementara, namun kita akan selalu cenderung kembali ke titik dasar tersebut.
Studi paling terkenal (Brickman et al., 1978) membandingkan pemenang lotre besar dengan korban kecelakaan yang mengalami kelumpuhan. Hasilnya mengejutkan! Setelah euforia atau trauma awal mereda, kedua kelompok tersebut melaporkan tingkat kebahagiaan harian yang tidak jauh berbeda satu sama lain.
2. Ekonomi: Diminishing Marginal Utility
Dalam ilmu ekonomi, fenomena ini sejajar dengan hukum Diminishing Marginal Utility atau Penurunan Utilitas Marjinal. Konsep ini merupakan pilar dalam “Principles of Economics” karya N. Gregory Mankiw (1997). Secara sederhana, hukum ini menyatakan: tambahan kepuasan (utility) yang kita peroleh dari satu unit tambahan akan menurun setiap kali kita mendapatkan tambahan tersebut.
Mari kita terapkan logika ini pada penghasilan ASN. Contoh pertama, seorang ASN di golongan awal mengalami peningkatan penghasilan 50 hingga 70 persen. Dampaknya signifikan: bisa menambah belanja bulanan, cicilan lebih ringan, dan menabung. Peningkatan ini mengubah kehidupan sehari-hari secara nyata. Kepuasannya melonjak tinggi.
Contoh kedua, seorang pejabat yang sudah mapan mengalami kenaikan penghasilan dengan nilai nominal yang sama dengan contoh pertama, tetapi secara persentase hanya sekitar 10 hingga 15 persen. Apakah kepuasannya melonjak setinggi ASN di level awal tadi? Kemungkinan besar tidak. Peningkatan itu “lumayan”, tapi tidak mengubah hidupnya secara drastis.
Inilah inti dari Diminishing Marginal Utility: semakin tinggi penghasilan yang sudah kita miliki, semakin kecil tambahan kebahagiaan yang kita peroleh dari setiap peningkatan berikutnya. Studi (Jebb et al., 2018) membuktikan ada titik jenuh pendapatan di mana uang tambahan hampir tidak lagi meningkatkan kepuasan.
3. Sosiologi: Social Comparison Theory
Jika kedua faktor sebelumnya, yaitu adaptasi psikologis dan utilitas ekonomi, menjelaskan mengapa kepuasan kita terhadap pencapaian baru cenderung memudar, faktor ketiga ini justru menjadi pemicu ketidakpuasan yang baru. Perbandingan sosial adalah bahan bakar yang mempercepat treadmill.
Psikolog Leon Festinger (1954) menjelaskan bahwa kita memiliki dorongan bawaan untuk mengevaluasi diri dengan cara membandingkan diri dengan orang lain.
Dalam konteks ASN, ini terjadi setiap hari. Pertama, perbandingan antar-OPD: “Teman saya di Dinas A, TPP-nya lebih besar. Padahal kami di sini lembur tiap hari, tapi kok tunjangannya lebih kecil?”. Kedua, perbandingan jalur karier: “Rekan saya yang fungsional sudah Ahli Madya, saya di jalur struktural masih tertahan di Pengawas.” Ketiga, perbandingan antar-instansi: “ASN di kementerian A penghasilannya lebih tinggi dari kementerian B, sampai ada istilah Kemen-sultan.”
Media sosial memperburuk ini, sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai penelitian modern (misalnya Chae, 2018) tentang bagaimana paparan konstan terhadap pencapaian orang lain dapat meningkatkan rasa ketidakpuasan terhadap pencapaian diri sendiri. Kita bukan hanya terbiasa dengan apa yang kita miliki. Kita justru mulai merasa tidak puas karena apa yang orang lain miliki.
Kapan Kita Menemukan Titik Stabil?
Jika kebahagiaan yang kita kejar seperti promosi, TPP, dan status selalu memudar, maka mengejarnya sebagai tujuan utama akan sangat melelahkan. Di sinilah kita perlu membedakan antara Kebahagiaan (Happiness) dan Makna (Meaning).
Filsuf Yunani Kuno, khususnya Aristoteles, membedakan kedua hal ini sejak lama. Yang pertama adalah Hedonia, yaitu kebahagiaan yang dicari, kepuasan dari kesenangan sesaat seperti gaji dan jabatan. Yang kedua adalah Eudaimonia, yaitu kebahagiaan yang ditemukan, hidup yang diisi dengan kebajikan (virtue), aktualisasi potensi diri, dan kebermaknaan.
Mengejar TPP dan jabatan adalah pengejaran Hedonia. Itu tidak mutlak salah, tapi itu fana. Adapun makna, atau Eudaimonia, adalah sesuatu yang lebih dalam dan stabil. Ia tidak datang dari pencapaian eksternal, melainkan dari cara kita menjalani peran kita.
Viktor Frankl (1946), dalam buku best-seller-nya Man’s Search for Meaning, berargumen bahwa kebahagiaan tidak bisa dikejar secara langsung. Ia adalah ‘efek samping’ yang terjadi dengan sendirinya sebagai hasil dari dedikasi seseorang pada suatu tujuan yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Penelitian (Baumeister et al., 2013) mendukung argumen ini dengan menyatakan bahwa “Kebahagiaan terkait dengan ‘mengambil’ (mendapat gaji, promosi), sementara Makna terkait dengan ‘memberi’ (membantu orang lain, berkontribusi).”
Dalam konteks ASN, mengerjakan laporan yang kompleks hingga lembur mungkin tidak happy, tapi ketika laporan itu jadi dasar kebijakan, itu berarti meaningful. Kepuasan dari makna bertahan jauh lebih lama daripada kepuasan dari kenaikan TPP.
Pergeseran Paradigma
Perbedaan mendasar antara Hedonic Treadmill dan Eudaimonia terletak pada arah geraknya. Treadmill membuat kita berlari di tempat. Banyak usaha, tetapi posisi relatif tidak berubah, karena setiap pencapaian eksternal seperti promosi dan gaji akan selalu memudar kembali ke baseline kebahagiaan kita.
Namun ketika kita beralih dari mengejar Hedonia (kebahagiaan eksternal) ke mempraktikkan Eudaimonia (makna internal), kita berhenti berlari di atas treadmill dan mulai menaiki tangga. Setiap langkah di tangga ini, setiap peningkatan kompetensi, setiap kontribusi bermakna, setiap tindakan integritas, membawa kita ke level yang lebih tinggi secara internal.
Posisi kita dalam struktur birokrasi mungkin tetap sama, tetapi kualitas kontribusi kita, kedalaman kompetensi kita, dan karakter kita sebagai ASN terus berkembang. Inilah “melangkah maju” yang sesungguhnya: bukan vertikal dalam jabatan, tetapi horizontal dalam kualitas dan mendalam dalam makna. Dan untungnya, kerangka untuk mempraktikkan Eudaimonia ini sudah ada di depan kita.
Melakoni BerAKHLAK sebagai Wujud Eudaimonia
Jika Eudaimonia (makna) adalah tujuannya, bagaimana cara kita mempraktikkannya di tengah rutinitas birokrasi?
Jawabannya sudah ada di depan kita. Pada 27 Juli 2021, Presiden Joko Widodo telah meluncurkan Core Values ASN “BerAKHLAK” dan Employer Branding “Bangga Melayani Bangsa”.
Ini bukanlah sekadar slogan untuk dihafal saat Latsar, atau sekedar dibacakan saat apel Senin. BerAKHLAK adalah antitesis dari Hedonic Treadmill. Ia adalah kerangka kerja operasional yang resmi untuk mempraktikkan Eudaimonia dalam tugas harian kita.
Treadmill (Hedonia) fokus pada “Apa yang saya dapat?” seperti gaji, jabatan, dan status. Sebaliknya, BerAKHLAK (Eudaimonia) fokus pada “Kontribusi apa yang saya beri?” seperti pelayanan, akuntabilitas, dan kompetensi.
Untuk dapat benar-benar menghidupi nilai-nilai ini, kita perlu tiga pergeseran pola pikir mendasar.
Pergeseran Pertama: Dari Take it for Granted ke Praktik Bersyukur (Gratitude)
Adaptasi terjadi karena kita mulai menganggap semua yang kita terima, seperti gaji, tunjangan, dan status, sebagai sesuatu yang sudah seharusnya demikian (take it for granted). Ketika sesuatu menjadi “seharusnya,” kita berhenti mensyukurinya. Sedangkan meluangkan waktu secara sadar untuk bersyukur adalah penangkalnya (Emmons & McCullough, 2003).
Pergeseran Kedua: Dari Motivasi Ekstrinsik ke Intrinsik (Fokus Pertumbuhan Horizontal)
Psikolog Deci dan Ryan (1985) membedakan antara dua jenis dorongan utama. Pertama adalah Motivasi Ekstrinsik, yaitu dorongan dari luar seperti gaji, jabatan, dan pujian. Ini rapuh dan mudah pudar. Kedua adalah Motivasi Intrinsik, yaitu dorongan dari dalam seperti kepuasan dari pekerjaan itu sendiri, pengembangan kompetensi, dan kontribusi.
Karier yang hanya diisi tujuan ekstrinsik (“Saya ingin jadi Kepala Seksi”) akan hampa ketika promosi tertunda. Kita harus menyeimbangkannya dengan tujuan intrinsik (“Saya ingin menguasai analisis data agar bisa memberi rekomendasi lebih tajam”). Inilah yang disebut Pertumbuhan Horizontal, yaitu menguasai keahlian baru dan menjadi mentor, yang tidak membutuhkan SK dari BKD dan bisa dilakukan bahkan saat kita stagnan secara vertikal (promosi).
Pergeseran Ketiga: Dari Orientasi Job/Career ke Orientasi Calling (Panggilan)
Penelitian (Wrzesniewski et al., 1997) membedakan tiga orientasi kerja. Pertama adalah Job, yaitu bekerja hanya demi uang. Kedua adalah Career, yaitu bekerja demi promosi dan status. Ketiga adalah Calling, yaitu bekerja sebagai panggilan yang bermakna, fokus pada kontribusi dan kualitas.
Menurutnya, kepuasan kerja tertinggi bukan pada mereka dengan gaji atau jabatan tertinggi, tapi pada mereka dengan orientasi Calling. Ini adalah tentang menemukan craftsmanship (keahlian). Bukan sekadar “menyelesaikan draf Renstra karena deadline,” tapi “merumuskan draf Renstra yang substansinya benar-benar berkualitas, solutif, dan implementatif”. Kerja keras bukan hanya untuk promosi, tapi untuk kualitas kontribusi itu sendiri, karena itulah yang memberi makna.
Ketika tiga landasan itu kita miliki, setiap nilai BerAKHLAK menjadi sumber makna harian yang tidak akan pudar.
Berorientasi Pelayanan
Definisi:
- Memahami dan memenuhi kebutuhan masyarakat
 - Ramah, cekatan, solutif, dan dapat diandalkan
 - Melakukan perbaikan tiada henti
 
Inilah praktik craftsmanship dan empati. Ketika kita melayani warga di loket dengan responsif dan tuntas, atau menuntaskan keluhan masyarakat dengan pendekatan komunikasi yang persuasif, kita melihat dampak nyata dari pekerjaan kita. Makna itu hadir seketika, tidak perlu menunggu SK promosi.
Akuntabel
Definisi:
- Melaksanakan tugas dengan jujur, bertanggung jawab, cermat, disiplin, dan berintegritas tinggi
 - Menggunakan kekayaan dan BMN secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien
 - Tidak menyalahgunakan kewenangan jabatan
 
Inilah manifestasi dari integritas. Memastikan data laporan akurat 100%, menolak segala bentuk gratifikasi, atau memanfaatkan fasilitas BMN sesuai peruntukannya adalah tindakan yang membangun self-respect dan kepercayaan publik.
Kompeten
Definisi:
- Meningkatkan kompetensi diri untuk menjawab tantangan yang selalu berubah
 - Membantu orang lain belajar
 - Melaksanakan tugas dengan kualitas terbaik
 
Ini adalah wujud dari “Pertumbuhan Horizontal” dan motivasi intrinsik. Kompetensi bukan sekadar mengikuti Diklat untuk mengumpulkan angka kredit, tetapi tentang penguasaan keahlian yang berdampak nyata. Contoh: seorang pelaksana yang mempelajari Excel tingkat lanjut untuk membuat dashboard monitoring otomatis, atau ASN yang belajar analisis kebijakan agar rekomendasi yang dihasilkan lebih tajam dan solutif. Di sinilah kepuasan intrinsik yang bertahan lama muncul, jauh lebih stabil dibanding kepuasan dari kenaikan pangkat.
Harmonis
Definisi:
- Menghargai setiap orang apapun latar belakangnya
 - Suka menolong orang lain
 - Membangun lingkungan kerja yang kondusif
 
Inilah praktik “memberi” dalam keseharian. Menjadi mentor bagi ASN junior, berbagi ilmu di sela-sela tugas, membantu rekan menyelesaikan konflik dengan netral, atau menghormati gagasan yang disampaikan orang lain adalah sumber makna yang bertahan lama.
Loyal
Definisi:
- Memegang teguh ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, setia pada NKRI serta pemerintahan yang sah
 - Menjaga nama baik sesama ASN, pimpinan, instansi, dan negara
 - Menjaga rahasia jabatan dan negara
 
Inilah dedikasi yang dibangun atas keyakinan, bukan sekadar kepatuhan. Contoh konkret: menolak gratifikasi meski tidak ada yang tahu, menyimpan informasi rahasia pada tempat yang aman, atau mencegah situasi yang mengancam keutuhan NKRI. Loyalitas adalah dedikasi aktif yang membangun self-respect sebagai abdi negara.
Adaptif
Definisi:
- Cepat menyesuaikan diri menghadapi perubahan
 - Terus berinovasi dan mengembangkan kreativitas
 - Bertindak proaktif
 
Adaptif bukan hanya reaktif (cepat belajar sistem digital baru saat organisasi berubah), tetapi juga proaktif. Contoh: ASN yang berinisiatif mengusulkan perbaikan SOP yang lebih efisien, mengantisipasi permasalahan yang akan terjadi di masa mendatang, atau proaktif mencari cara otomasi proses kerja yang repetitif tanpa menunggu instruksi atasan. Ini adalah pertumbuhan yang tidak menunggu, tetapi bertindak.
Kolaboratif
Definisi:
- Memberi kesempatan kepada berbagai pihak untuk berkontribusi
 - Terbuka dalam bekerja sama untuk menghasilkan nilai tambah
 - Menggerakkan pemanfaatan berbagai sumber daya untuk tujuan bersama
 
Inilah praktik melampaui ego dan sekat struktural. Bersinergi dengan pihak terkait lintas-OPD, memberi kesempatan kepada berbagai pihak untuk berkontribusi, atau membangun komunikasi yang efektif dalam tim kerja adalah manifestasi bahwa hasil kolektif lebih bermakna dari pencapaian individual.
Melangkah, Bukan Berlari di Tempat
Karier ASN adalah sebuah maraton, bukan lari sprint. Tonggak pencapaian seperti promosi memang penting untuk dirayakan, namun kita perlu kesadaran penuh bahwa kebahagiaan dari pencapaian itu tidak pernah permanen.
Ia akan selalu memudar kembali ke titik dasar. Ini bukan kegagalan, ini adalah cara kerja otak manusia.
Yang akan menopang kita di saat jenuh, di saat promosi tertanda, atau di saat rutinitas terasa berat, adalah makna. Makna tidak datang dari seberapa tinggi kita naik dalam struktur birokrasi, tetapi dari seberapa dalam kita menghayati peran kita dan menghidupi nilai-nilai BerAKHLAK.
Ketika fokus kita bergeser dari “Apa berikutnya yang bisa aku dapatkan?” menjadi “Kontribusi apa yang sedang aku bangun hari ini?”, kita berhenti berlari tanpa tujuan di atas treadmill.
Dan pada saat itulah, kita benar-benar melangkah maju. Bukan di tempat. Tetapi maju dalam kompetensi, dalam kontribusi, dan dalam karakter kita sebagai Aparatur Sipil Negara.