Oleh: Harry Prabowo, S.STP., M.E.
Perencana Ahli Madya Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Riau
Ketika Peringatan Justru Disalahpahami
Pada 1958, sosiolog Inggris Michael Young menulis buku fiksi berjudul The Rise of the Meritocracy. Ia membayangkan dunia distopia di mana semua orang hanya dinilai dari IQ dan kerja keras, dan hasilnya adalah masyarakat yang dingin, penuh jurang, dan tidak manusiawi.
Ironisnya, ide yang ia maksudkan sebagai peringatan justru dipuja. Politisi, akademisi, bahkan dunia bisnis jatuh cinta pada istilah meritokrasi. Sekolah mengejar ranking, perusahaan bangga dengan sistem “merit-based”, dan kita semua percaya bahwa inilah bentuk keadilan tertinggi.
Enam dekade kemudian, dua profesor dari universitas papan atas Amerika, Daniel Markovits dari Yale University dengan The Meritocracy Trap (2019) dan Michael Sandel dari Harvard University dengan The Tyranny of Merit (2020), membuktikan bahwa kekhawatiran Young memang nyata. Alih-alih menghapus ketidakadilan, meritokrasi justru melahirkan ketidakadilan baru yang lebih tersembunyi.
Mitos Garis Start yang Sama
Formula klasik meritokrasi sederhana, yaitu IQ ditambah usaha menghasilkan prestasi. Terdengar adil. Tetapi pertanyaan mendasarnya, apakah semua orang benar-benar memulai dari garis start yang sama?
Seorang anak di kota besar dengan akses pendidikan unggul jelas berbeda titik berangkatnya dengan anak di pelosok desa. Apa yang kita sebut “merit” sering kali lebih banyak hasil dari keberuntungan, lahir di keluarga yang tepat, pada tempat dan waktu yang tepat. Usaha memang penting, tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa starting point tiap orang berbeda.
Jebakan Tanpa Akhir
Markovits menyebut meritokrasi sebagai treadmill, mesin berlari yang tidak pernah berhenti. Mereka yang lahir di kelas atas dipaksa hidup dalam tekanan luar biasa, ikut les sejak kecil, sekolah elite, kuliah di universitas top, lalu bekerja berjam-jam hanya untuk mempertahankan posisi.
Sementara itu, kelas menengah yang dulu menjadi tulang punggung masyarakat semakin terjepit. Pendidikan yang dulu cukup SMA kini wajib sarjana. Yang dulu cukup sarjana kini butuh master. Jurang antar kelompok pun semakin melebar.
Tirani yang Terlegitimasi
Sandel mengingatkan bahaya paling halus dari meritokrasi, yaitu lahirnya kesombongan yang seolah sah secara moral. Mereka yang berhasil merasa pantas ada di atas karena lebih pintar atau lebih rajin.
Dalam sistem lama seperti feodalisme, orang miskin masih bisa menyalahkan keadaan atau penguasa yang zalim. Tetapi dalam meritokrasi, ruang itu hilang. Mereka yang gagal dipaksa menyalahkan diri sendiri. Rasa bersalah pribadi menggantikan faktor eksternal: “Kalau miskin, pasti karena kurang usaha.” Inilah bentuk diskriminasi baru yang disebut credentialism, di mana ijazah dan gelar menjadi tolok ukur martabat seseorang.
Pelajaran untuk Manajemen ASN
Dalam dunia birokrasi, prinsip “the right man on the right place” telah lama dijadikan standar. Seleksi terbuka, uji kompetensi, hingga manajemen talenta semuanya berangkat dari semangat merit.
Tentu tidak ada yang salah dengan menempatkan orang yang kompeten di posisi yang tepat. Namun refleksi para pemikir tadi mengingatkan kita agar lebih bijak. Merit tidak pernah steril dari faktor keberuntungan. Akses pendidikan, lingkungan sosial, bahkan kesempatan politik sangat memengaruhi kualitas yang tampak pada seseorang.
Artinya, dalam praktik kepegawaian kita perlu menyeimbangkan objektivitas dengan empati. Sistem boleh berbasis merit, tetapi sikap kita tetap harus rendah hati dan manusiawi.
Penutup: Sedikit Lebih Rendah Hati
Paradoks meritokrasi menunjukkan bahwa sistem yang tampak paling adil bisa saja justru paling bias. Mengakui hal ini bukan berarti menolak merit, melainkan menggunakannya dengan kesadaran bahwa tidak ada orang yang sepenuhnya membentuk dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Seperti ditulis Sandel, “For all our striving, we are not self-made and self-sufficient.” Maksudnya, betapapun keras kita berusaha, kita tidak sepenuhnya hasil ciptaan diri sendiri. Kita adalah gabungan dari keberuntungan, dukungan orang tua, kesempatan yang hadir, dan bantuan dari sesama.
Menyadari hal ini membuat kita lebih rendah hati dalam meraih sukses, dan lebih peduli pada mereka yang tertinggal. Birokrasi hari ini membutuhkan semangat itu, bukan sekadar aturan kaku, melainkan kesadaran bahwa keberhasilan individu selalu terkait dengan keberhasilan bersama.
—
Daftar Bacaan
- Young, Michael. The Rise of the Meritocracy. London: Thames and Hudson, 1958.
- Markovits, Daniel. The Meritocracy Trap. New York: Penguin Press, 2019.
- Sandel, Michael J. The Tyranny of Merit. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2020.