Menteri Keuangan Baru dan Dampaknya bagi Perekonomian dan Pengelolaan Fiskal Provinsi Riau

Oleh: HARRY PRABOWO, S.STP., M.E.
Perencana Ahli Madya Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Riau

Pengangkatan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan pada 8 September 2025 membawa angin segar di tengah krisis yang melanda Indonesia. Dalam debut pertamanya di hadapan Komisi XI DPR pada 10 September 2025, menteri baru ini memberikan diagnosis yang cukup mengejutkan. “Demo itu karena tekanan berkepanjangan di ekonomi akibat kesalahan kebijakan fiskal dan moneter sendiri yang sebetulnya kita kuasai” (CNBC Indonesia, 10 September 2025). Pernyataan tegas ini bukan sekadar pengakuan belaka, melainkan momentum strategis untuk merefleksikan bagaimana kebijakan fiskal yang tidak konsisten di tingkat pusat ternyata berdampak sangat merugikan hingga ke daerah. Lebih dari itu, situasi ini menegaskan mengapa implementasi Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) menjadi kunci perbaikan struktural yang tidak bisa ditunda lagi. Pertanyaan krusial bagi Pemerintah Provinsi Riau adalah bagaimana memanfaatkan momentum reformasi kebijakan fiskal era Purbaya untuk mentransformasi tantangan defisit APBD menjadi peluang strategis menjaga kesehatan fiskal daerah?

Diagnosis Krisis Kebijakan Fiskal 2025

Ketika Kebijakan Pemerintah Saling Berlawanan

Tahun 2025 menjadi saksi bisu kegagalan koordinasi kebijakan fiskal yang cukup parah. Di satu sisi, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 memangkas anggaran secara besar-besaran yaitu Rp306,69 triliun secara keseluruhan, dengan Rp50,59 triliun dipotong langsung dari dana ke daerah. Pemotongan ini mencakup Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik sebesar Rp18,3 triliun, Dana Alokasi Umum (DAU) Rp15,6 triliun, dan Dana Bagi Hasil (DBH) Rp13,9 triliun (Tirto.id, 31 Januari 2025).

Di sisi lain, program Makan Bergizi Gratis (MBG) justru menelan anggaran yang sangat besar mencapai Rp171 triliun dengan proyeksi Rp300 triliun pada 2026 (Kompas.id, 30 Januari 2025). Namun pelaksanaannya berjalan sangat lambat. Hingga 29 April 2025, realisasi MBG baru mencapai Rp2,3 triliun (IDXChannel, 30 April 2025), masih sangat jauh dari harapan stimulasi ekonomi yang dibutuhkan masyarakat.

Inilah yang disebut Menteri Purbaya sebagai “kesalahan kebijakan fiskal dan moneter sendiri.” Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, beliau menjelaskan dengan data yang cukup konkret. “Januari, Februari, Maret, April membaik semua, pertumbuhan uang sempat capai 7% di bulan April, makanya ketika sarasehan di bulan April saya bilang kita sudah keluar dari krisis Indonesia akan cerah,” namun realitas berkata lain, “Yang saya enggak tahu Mei jatuh lagi, Juni, Juli, Agustus jatuh ke 0% jadi periode perlambatan ekonomi yang sempat 2024 gara-gara uang ketat tadi dipulihkan sedikit, tapi belum pulih penuh di rem lagi ekonominya” (CNBC Indonesia, 10 September 2025).

Mengapa Kebijakan Ini Justru Merugikan Ekonomi

Menteri Purbaya dengan tepat menyoroti fakta bahwa “90% perekonomian kita di-drive domestik demand” (CNBC Indonesia, 10 September 2025). Beliau juga menganalisis secara mendalam bagaimana “kebijakan uang ketat” yang diterapkan sejak pertengahan 2023 justru merusak ekonomi domestik. “Sejak 2023 pertengahan itu uang diserap secara bertahap terus ke bawah sampai pertumbuhannya nol menjelang second half 2024. Jadi itu yang Anda rasakan di ekonomi melambat dengan signifikan, riil sektor susah, semuanya susah” (Finance Detik, 10 September 2025).

Dalam konteks teori ekonomi Keynesian yang menekankan pentingnya permintaan agregat (Keynes, 1936), kebijakan Inpres 1/2025 justru merusak permintaan domestik melalui tiga cara yang sangat merugikan.

Pertama, menghentikan efek berganda (multiplier effect) dari belanja pemerintah dimana pemotongan DAK Fisik dan DAU menghentikan proyek-proyek infrastruktur yang sudah melibatkan mata rantai ekonomi lokal.

Kedua, memutus rantai ekonomi UMKM karena sektor usaha mikro kehilangan pesanan dari proyek pemerintah yang dipotong, sementara pesanan MBG belum berjalan signifikan.

Ketiga, menciptakan ketidakpastian investasi dimana kebijakan yang berlawanan antara penghematan besar-besaran dan bantuan yang lambat menciptakan volatilitas yang menghambat investasi swasta dan konsumsi masyarakat.

Lebih jauh lagi, analisis Purbaya sejalan dengan teori monetaris Milton Friedman (Friedman, 1968) yang menekankan pentingnya money supply dalam menjaga stabilitas ekonomi. Friedman berargumen bahwa kontraksi money supply yang terlalu ketat dapat menciptakan deflasi dan resesi, persis seperti yang terjadi ketika pertumbuhan uang primer Indonesia jatuh ke 0% pada 2024.

Purbaya juga memberikan pelajaran berharga dari sejarah kebijakan moneter Indonesia. Beliau mengingatkan kesalahan fatal pada krisis 1998 ketika “BI menaikkan suku bunga lebih dari 60 persen untuk melindungi rupiah, semua orang mengira kita menerapkan kebijakan uang ketat, wow, suku bunga tinggi, tidak ada yang meminjam. Tetapi jika kita lihat di baliknya, apa yang terjadi? Kita mencetak uang dasar, tumbuh 100 persen, jadi kebijakannya kacau” (VOI, 10 September 2025).

Pengalaman ini membuktikan validitas teori monetary contraction Friedman yang menyatakan bahwa kebijakan moneter yang tidak konsisten justru menciptakan ketidakstabilan ekonomi yang lebih parah. Purbaya menegaskan, “Kalau kita melahirkan kebijakan kacau yang keluar adalah setan-setannya dari kebijakan itu, bunga yang tinggi menghancurkan riil sektor, uang yang banyak dipakai untuk menyerang nilai tukar rupiah kita, jadi kita membiayai kehancuran ekonomi kita tanpa sadar” (VOI, 10 September 2025).

Solusi yang ditawarkan Purbaya mencerminkan pemahaman mendalam tentang mekanisme transmisi kebijakan ekonomi yang terintegrasi. Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, beliau menjelaskan konsep “dua mesin pertumbuhan ekonomi” yang selama ini tidak optimal. “Jadi tugas saya di sini adalah menghidupkan kedua mesin tadi, mesin moneter dan mesin fiskal. Nanti saya mohon restu dari parlemen untuk saya menjalankan tugas itu” (CNBC Indonesia, 11 September 2025).

Purbaya memberikan analisis perbandingan yang menarik tentang era kepemimpinan sebelumnya. Era SBY mencapai pertumbuhan 6% karena mesin moneter mendukung sektor swasta dengan base money yang tumbuh 17% sehingga kredit swasta mencapai 22%. Era Jokowi hanya 5% karena fokus pada mesin fiskal (infrastruktur pemerintah) sementara mesin moneter lemah dengan pertumbuhan uang hanya 7% bahkan sempat 0%. “Mesin ekonomi kita pincang. Hanya pemerintah yang jalan, sedangkan yang 90% (kontribusi swasta) berhenti, atau diperlambat” (CNBC Indonesia, 11 September 2025).

Visi Purbaya untuk era Prabowo adalah menjalankan kedua mesin kebijakan secara bersamaan. “Di era SBY, ketika hanya mesin swasta yang bergerak, pertumbuhan mencapai 6 persen. Di era Jokowi, ketika hanya mesin negara yang bergerak, pertumbuhan bertahan 5 persen. Ke depan, bila kedua mesin digerakkan bersama, kita optimistis bisa mencapai 8 persen” (Okezone Economy, 11 September 2025).

Langkah konkretnya adalah memindahkan Rp200 triliun dari kas pemerintah di Bank Indonesia ke sistem perbankan untuk mengatasi “kekeringan likuiditas”. Kebijakan ini merupakan bentuk stimulus fiskal melalui injeksi likuiditas yang bertujuan memaksa perbankan memanfaatkan dana tersebut untuk penyaluran kredit, bukan dibiarkan mengendap sebagai investasi dalam surat berharga negara. Konsep injection of liquidity merujuk pada upaya memasukkan uang tunai ke dalam sistem keuangan agar bank memiliki lebih banyak dana untuk disalurkan sebagai kredit kepada masyarakat dan dunia usaha. Tujuannya adalah mengatasi economic contraction, kondisi dimana aktivitas ekonomi menyusut akibat kurangnya uang yang beredar sehingga investasi, konsumsi, dan produksi menurun secara bersamaan.

Purbaya dengan tegas mengkritik pendekatan konvensional yang kerap mengabaikan kondisi spesifik Indonesia. Dalam forum CNBC Investment Forum sebelumnya, beliau bahkan menyatakan, “Kalau saya gak percaya IMF. Menurut saya IMF nggak pinter-pinter amat, kalau enggak percaya kita lihat track recordnya” (CNBC Investment Forum, 16 Mei 2025). Kritik ini bukan tanpa dasar, mengingat pada krisis 2009, IMF meramalkan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 2,5%, namun faktanya mencapai 4,6%. Pandangan skeptis Purbaya terhadap lembaga keuangan internasional ini mencerminkan keyakinannya bahwa “90% perekonomian kita di-drive domestik demand”, sehingga analisis yang tidak memperhatikan fundamental ekonomi domestik akan selalu meleset.

Dampak Sistemik di Tingkat Daerah: Studi Kasus Provinsi Riau

Provinsi Riau menjadi contoh nyata bagaimana kebijakan fiskal yang tidak sinkron berdampak buruk pada ekonomi daerah. Defisit APBD proyeksi 2025 mencapai Rp3,5 triliun (Riau24.com, 24 Maret 2025) akibat beban tunda bayar tahun sebelumnya sebesar Rp2,2 triliun. Kondisi ini memaksa Gubernur Riau Abdul Wahid mengakui, Kemampuan APBD kita secara real hanya Rp8 triliun. Belanja pegawai lebih kurang Rp4 triliun, defisit anggaran sekitar Rp1,3 triliun, artinya kita mengalami defisit secara keseluruhan sebesar Rp3,5 triliun,” ungkap Gubernur Riau Abdul Wahid terkait kondisi defisit APBD 2025 (Riau24.com, 24 Maret 2025).

Sebagai daerah yang bergantung pada dana transfer seperti 88% daerah lainnya menurut data BPK 2020 (KPPOD, 19 Februari 2025), Riau mengalami dampak berlapis yang cukup sistemik.

Dampak langsung terasa dari pemotongan dana transfer yang memaksa penyesuaian belanja daerah. Sekda Riau mengakui, “Pasti terpengaruh karena kita termasuk daerah yang cukup bergantung pada dana transfer. Jadi ada rasio dari belanja yang harus kita kurangi dan sesuaikan” (Media Center Riau, 4 September 2025).

Dampak tidak langsung muncul dari program MBG yang lambat dan tidak merata sehingga memperburuk kondisi UMKM lokal. Data Badan Gizi Nasional menunjukkan distribusi MBG masih terpusat di Pulau Jawa, sementara daerah kepulauan seperti Riau belum mendapat porsi yang memadai (Media Keuangan Kemenkeu, 17 Februari 2025).

Dampak struktural terlihat dari kondisi serupa yang terjadi di seluruh kabupaten/kota se-Riau. Kota Pekanbaru mengalami defisit Rp300 miliar, Kabupaten Siak Rp229 miliar, Rokan Hulu Rp125 miliar, Pelalawan Rp72 miliar, dan Kepulauan Meranti Rp51,5 miliar (FITRA Riau, 1 Februari 2025).

 

UU HKPD sebagai Framework Solusi Jangka Panjang

Dari Krisis Menuju Reformasi yang Terstruktur

Diagnosis tajam Menteri Purbaya tentang “kesalahan kebijakan fiskal dan moneter” menunjukkan pentingnya reformasi struktural dalam pengelolaan keuangan negara. UU HKPD menjadi framework yang sangat strategis untuk memperbaiki hubungan keuangan pusat-daerah yang selama ini timpang dan tidak efisien.

UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengatur reformasi yang cukup komprehensif melalui empat pilar utama yaitu penguatan local taxing power, pengurangan ketimpangan vertikal dan horizontal, peningkatan kualitas belanja daerah, dan harmonisasi belanja pusat-daerah (BPK RI, UU No. 1 Tahun 2022). Keempat pilar ini tepat sasaran untuk mengatasi akar masalah krisis koordinasi fiskal 2025.

Implementasi yang Realistis dengan Segala Tantangannya

Implementasi UU HKPD di tahun 2025 menunjukkan hasil yang beragam namun cukup memberikan harapan. Di sisi positif, penerimaan pajak daerah nasional hingga Agustus 2024 mencapai Rp161,06 triliun, dengan PBB-P2 menyumbang Rp19,29 triliun (Kontan.co.id, 13 Oktober 2024). Kenaikan tarif PBB-P2 dari maksimal 0,3% menjadi 0,5% (PAJAK.COM, 15 Februari 2024) memberikan ruang fiskal tambahan yang cukup berarti bagi daerah.

Namun tantangan implementasi tidak boleh diabaikan begitu saja. Direktur Eksekutif KPPOD Herman N. Suparman mengingatkan, “Yang jadi persoalan sekarang di daerah soal ketentuan NJOP yang begitu tinggi yang membuat kenaikan 100% hingga 1000% untuk PBB-P2″ (Kontan.co.id, 13 Oktober 2024). Hal ini memerlukan pendekatan yang sangat hati-hati dimana optimalisasi pendapatan daerah tidak boleh mengorbankan daya beli masyarakat dan iklim investasi.

Kasus-kasus di berbagai daerah membuktikan risiko implementasi yang tidak hati-hati. Kabupaten Pati menaikkan PBB-P2 hingga 250% dan memicu protes besar-besaran yang berujung pembatalan kebijakan (CNN Indonesia, 14 Agustus 2025). Kota Cirebon bahkan berencana menaikkan hingga 1.000%, Kabupaten Jombang 400% dengan seorang warga mengalami kenaikan 1.202%, Kabupaten Bone 300%, Kabupaten Semarang 400%, dan Kabupaten Badung mencapai 3.500% (KPPOD, 2025). Data Kemendagri menunjukkan 104 kabupaten/kota telah menaikkan tarif PBB-P2 sejak 2024, dengan 20 daerah menaikkan di atas 100% (Bisnis.com, 19 Agustus 2025).

Hal ini memerlukan pendekatan yang sangat hati-hati dimana optimalisasi pendapatan daerah tidak boleh mengorbankan daya beli masyarakat dan iklim investasi. Seperti diperingatkan ekonom Indef M. Rizal Taufikurahman, “Memaksakan kenaikan PBB-P2 secara drastis berpotensi menciptakan tax shock yang memukul daya beli, terutama bagi kelompok rentan dan kelas menengah bawah” (CNN Indonesia, 14 Agustus 2025).

Basis Teoretis UU HKPD dalam Konteks Desentralisasi Fiskal

Dalam perspektif teori fiscal federalism yang dikembangkan Wallace Oates, UU HKPD menawarkan tiga solusi struktural yang sangat penting.

Pertama, penguatan basis fiskal daerah yang memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah untuk mengoptimalkan PAD, sehingga mengurangi ketergantungan pada transfer pusat yang rentan terhadap fluktuasi kebijakan. Fleksibilitas NJOP antara 20%-100% (DDTC News) memberikan ruang penyesuaian dengan kondisi ekonomi lokal.

Kedua, harmonisasi kebijakan fiskal yang mengamanatkan “pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional” (BPK RI, UU No. 1 Tahun 2022). Hal ini seharusnya dapat mencegah konflik kebijakan seperti yang terjadi antara Inpres 1/2025 dan program MBG.

Ketiga, diferensiasi kapasitas daerah dimana framework UU HKPD memungkinkan pendekatan yang berbeda sesuai kapasitas fiskal masing-masing daerah, menghindari pendekatan one-size-fits-all yang terbukti merugikan.

Pendekatan ini mencerminkan prinsip-prinsip desentralisasi fiskal yang efektif, yaitu pentingnya menyeimbangkan efisiensi ekonomi dengan pemerataan antar wilayah, serta memberikan insentif yang tepat bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah.

Harapan pada Kepemimpinan Menteri Purbaya dan Konsep Dua Mesin Ekonomi

Berdasarkan analisis terhadap akar masalah kebijakan fiskal, momentum kepemimpinan Menteri Purbaya harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk reformasi yang komprehensif. Konsep “dua mesin ekonomi” yang diusungnya menawarkan pendekatan yang berbeda dari era sebelumnya yaitu sinergi optimal antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.

Purbaya memberikan diagnosis yang sangat jelas tentang permasalahan struktural ekonomi Indonesia. “Zaman Pak Prabowo juga bisa sama. Ini sekarang masih baru. Kalau pemerintahnya masih lambat belanjanya dan mencekik perekonomian juga dari sisi lain dan moneternya juga sama, maka akan lebih buruk dibandingkan dua era sebelumnya, karena dua mesin mati” (Finance Detik, 10 September 2025).

Dalam konteks ini, penulis mengusulkan strategi yang dapat dikembangkan dalam bentuk tiga aspek penting. Pertama, memperbaiki koordinasi secara real-time dengan mengembangkan sistem pemantauan yang dapat mendeteksi dampak kebijakan fiskal terhadap daerah secara langsung. Kedua, memperkuat implementasi UU HKPD melalui pendampingan teknis yang lebih intensif untuk daerah dalam implementasi pajak dan retribusi baru. Ketiga, menerapkan pendekatan diferensial sesuai dengan kapasitas fiskal masing-masing daerah dalam setiap kebijakan fiskal nasional.

Peluang Strategis bagi Provinsi Riau

Riau memiliki kesempatan emas untuk melakukan transformasi dari krisis menuju peluang yang lebih besar. Momentum pergantian kepemimpinan di Kemenkeu dan kondisi defisit keuangan daerah justru dapat menjadi pendorong untuk memperkuat posisi fiskal melalui beberapa strategi.

Optimalisasi implementasi UU HKPD menjadi kunci utama. Dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dan posisi strategis sebagai gerbang ekonomi Indonesia, Riau dapat mengembangkan model pajak dan retribusi yang sesuai dengan karakteristik ekonomi lokal.

Diversifikasi sumber pendapatan juga sangat penting mengingat ketergantungan yang tinggi pada transfer pusat. Riau dapat memanfaatkan momentum ini untuk mengoptimalkan PAD melalui sektor unggulan seperti pariwisata, industri, dan jasa, serta mengembangkan kemitraan strategis dengan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur.

Penguatan sinergi dengan kebijakan pusat dapat dilakukan dengan memposisikan diri sebagai daerah percontohan implementasi UU HKPD yang efektif, mengoptimalkan program-program nasional, dan berperan aktif dalam forum koordinasi untuk menyampaikan aspirasi daerah kepada pemerintah pusat.

Kesimpulan dan Harapan ke Depan

Momentum kepemimpinan Menteri Keuangan Purbaya di tengah krisis fiskal 2025 harus dimanfaatkan untuk reformasi yang komprehensif. Diagnosisnya yang tajam tentang “kesalahan kebijakan fiskal dan moneter” dan visi “dua mesin ekonomi” menunjukkan pemahaman mendalam tentang akar masalah. Pengalaman menunjukkan bahwa pertumbuhan optimal tercapai ketika kebijakan fiskal dan moneter bekerja sinkron—era SBY mencapai 6% dengan dukungan moneter optimal, era Jokowi 5% dengan fokus fiskal infrastruktural, dan kombinasi keduanya berpotensi mencapai 7-8% di era Prabowo.

Tantangan terbesar adalah membangun sistem kebijakan fiskal yang menyeimbangkan antara efisiensi dengan pemerataan, antara konsolidasi fiskal dengan stimulus ekonomi, antara kewenangan pusat dengan otonomi daerah. UU HKPD yang diimplementasikan dengan baik menjadi kunci solusi, menciptakan ruang fiskal yang cukup bagi daerah untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan. Provinsi Riau, dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dan posisi strategis, memiliki kesempatan emas menjadi model implementasi UU HKPD yang sukses dan membuktikan bahwa krisis fiskal dapat diubah menjadi peluang transformasi menuju kemandirian fiskal berkelanjutan.

 

Penulis adalah Perencana Ahli Madya pada Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Riau dengan latar belakang Magister Ilmu Ekonomi. Artikel ini merupakan pandangan pribadi dan tidak mewakili kebijakan resmi instansi.

Sumber dan Referensi:

  1. CNBC Indonesia. (2025, 10 September). “Purbaya Sebut Kebijakan Fiskal & Moneter yang Salah Bikin Demo Ricuh”. https://www.cnbcindonesia.com/news/20250910170739-4-665918/purbaya-sebut-kebijakan-fiskal-moneter-yang-salah-bikin-demo-ricuh
  2. CNN Indonesia. (2025, 10 September). “Purbaya Sebut Demo Besar di RI Imbas Salah Kebijakan Fiskal – Moneter”. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250910152222-532-1272192/purbaya-sebut-demo-besar-di-ri-imbas-salah-kebijakan-fiskal-moneter
  3. Kompas.com. (2025, 8 September). “Profil Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang Baru Dilantik”. https://money.kompas.com/read/2025/09/08/160543726/profil-purbaya-yudhi-sadewa-menteri-keuangan-yang-baru-dilantik
  4. Tirto.id. (2025, 31 Januari). “Isi Inpres 1 Tahun 2025 Soal Pengurangan Anggaran Dinas dan PDF”. https://tirto.id/isi-inpres-1-tahun-2025-soal-pengurangan-anggaran-dinas-pdf-g7Js
  5. Kompas.id. (2025, 30 Januari). “Anggaran Makan Bergizi Gratis Dapat Membengkak ke Rp 171 Triliun pada 2025”. https://www.kompas.id/artikel/anggaran-makan-bergizi-gratis-dapat-membengkak-jadi-rp-171-triliun-di-tahun-pertama
  6. IDXChannel. (2025, 30 April). “Realisasi Anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) Naik Tajam Jadi Rp2,3 Triliun di April 2025”. https://www.idxchannel.com/economics/realisasi-anggaran-makan-bergizi-gratis-mbg-naik-tajam-jadi-rp23-triliun-di-april-2025
  7. Media Keuangan Kemenkeu. (2025, 17 Februari). “Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Dinamika dan Sorotan”. https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/program-makan-bergizi-gratis-mbg-dinamika-dan-sorotan
  8. Media Center Riau. (2025, 4 September). “Pemangkasan Dana Pusat Pengaruhi APBD Riau, Sekdaprov Riau : Program Prioritas Tetap Jalan”. https://mediacenter.riau.go.id/read/93161/pemangkasan-dana-pusat-pengaruhi-apbd-riau-se.html
  9. KPPOD. (2025, 19 Februari). “Inpres 1/2025 Ancam Otonomi Daerah, Kenapa?”. https://kbr.id/berita/terbaru/kppod-inpres-1-2025-ancam-otonomi-daerah-kenapa-
  10. Riau24.com. (2025, 24 Maret). “Defisit APBD Riau 2025: Gubernur Sebut Rp3,5 T, Wagub Klaim Rp132 M, Ini Penjelasan Sekdaprov”. https://citizen.riau24.com/berita/baca/1742829429-defisit-apbd-riau-2025-gubernur-sebut-rp35-t-wagub-klaim-rp132-m-ini-penjelasan-sekdaprov