Manajemen Risiko Keuangan

Oleh: H. Yurnalis, S.Sos

Widyaiswara di Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Riau

Dengan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian dan kegiatan usaha suatu perusahaan atau koperasi, maka dirasa perlu adanya sumber-sumber untuk penyediaan dana guna membiayai kegiatan usaha yang semakin berkembang tersebut. Dengan demikian dana yang diperlukan untuk suatu kegiatan usaha dapat disebut juga sebagai factor produksi yang sejajar dengan factor-faktor produksi lainnya seperti peralatan mesin, bahan baku/ bahan penolong, kemampuan teknologi, manajemen dll, sebagai suatu sumber ekonomi yang termasuk langka.

Oleh karena itu, hubungan antara pertumbuhan suatu kegiatan perekonomian atau usaha dari perusahaan dan koperasi dengan eksistensi perkreditan mempunyai koefisien korelasi yang sangat erat, baik bersifat negative maupun positif.

Sedangkan apabila ditinjau dari sudut perbankan atau lembaga keuangan yang menyediakan sumber dana yang berbentuk perkreditan tersebut, maka kredit akan mempunyai kedudukan yang istimewa, terutama pada Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sebab antara volme permintaan akan dana jauh lebih besar dari penawaran dana yang ada di masyarakat. Akibat selanjutnya dapat dilihat bahwa pendapatan bunga dari kredit akan merupakan komponen yang dominan dibandingkan dengan pendapatan jasa-jasa perbankan lainnya. Namun semua itu tidak berarti perkembangan usaha tak beresiko. Risiko akan selalu mengikuti dimana lalu lintas perkreditan itu berjalan.

Sebenarnya banyak sekali kesalah pahaman yang bersifat paradoksial dalam mengartikan masalah pemberian kredit dari perbankan di Indonesia. Sebagian besar masyarakat awam menganggap sebagai bantuan likuiditas dan yang wajib diberikan oleh pihak perbankan sebagai pemegang uang simpanan dari masyarakat. Bantuan likuiditas dalam kredit bukan dianggap sebagai liabilitas yang harus dibayar kembali. Secara keliru dianggap bahwa sudah semestinya kalau bank membanjiri masyarakat dengan fasilitas kredit untuk berbagai keperluan sehari-hari rumah tangga, keperluan untuk mendapatkan rumah, membeli kendaraan bermotor dan keperluan lainnya yang pada dasarnya bersifat konsumtif sehingga pengembaliannya menjadi masalah besar.

Kalaupun kredit dimaksudkan untuk keperluan produktif dalam perekonomian riil maka banyak juga pengusaha yang memanfaatkan itu untuk membesarkan usaha dan suatu cara untuk membagi resiko, sebab bilamana perluasan usaha yang melebihi batas kemampuan modal pribadinya dibiayai dengan cara lain misalnya dari pinjaman non bank, penjualan saham dan cara-cara lain maka kemungkinan keberhasilannya lebih kecil. Pinjaman ke bank adalah lebih mantap, aman dan segala sesuatunya terkendali oleh otoritas moneter.

Sementara itu bagi para direksi dan manajer bank masalah pemberian kredit ini adalah masalah yang unik. Di satu pihak bank sesuai dengan fungsi utamanya dan berdasarkan kenyataan bahwa pemberian kredit atau penempatan dana dalam fasilitas kredit adalah usaha yang paling besar memberikan pendapatan, namun di lain fihak hal itu mengandung banyak resiko.

Dilema ini muncul karena pemberian kredit adalah berdasarkan suatu perhitungan akan sesuatu hasil dimasa depan. Karena sifatnya perhitungan kedepan yang kejadiannya sering berada diluar kemampuan pengendalian para pejabat bank maka risiko itu akan selalu ada. Tidak ada fasilitas kredit yang bagaimanapun baiknya analisa telah dilakukan yang tanpa resiko. Untuk resiko yang dihadapi oleh bank tersebut, maka bank mengenakan bunga dalam pemberian kredit tersebut. Makin tinggi resiko tersebut maka wajarlah bilamana bunga bank menjadi makin besar satu dan lain hal untuk membentuk cadangan penghapusan.

Di lain pihak para penegak hukum memandang bahwa kegagalan pemberian kredit adalah suatu perbuatan yang melawan hukum dan merugikan Negara. Pandangannya bersifat legalistis normative dan menafsirkan peraturan perundangan hanya dari segi hukumnya dan tidak mempertimbangkan aspek ekonomis moneter yang mempunyai segi-segi yang sangat spesifik. Sayangnya tidak semua sistim hukum perbankan yang super spesialis itu bisa cukup lengkap di suatu Negara. Sebagai suatu lex specialist maka system hukum perbankan di Indonesia selain tidak lengkap juga selalu ketinggalan dalam menghadapi persoalan dalam masalah kredit macet dan masalah operasi perbankan lainnya yang sarat dengan aspek kemajuan teknologi.

Dengan demikian masalahnya adalah mengapa pengelola bank dewasa ini mengalami kesulitan dan ketakutan dalam mengelola resiko kredit. Oleh karena itu perlu kiranya diberikan gambaran tentang resiko perkreditan yang unik itu dengan membahas secara singkat tentang masalah kebutuhan akan dana usaha, masalah resiko dalam pemberian kredit, peranan bank Indonesia dilema manajemen resiko batasan hipotesis tentang resiko normal dan kriminal serta pendekatan yang ideal terhadap permasalahan resiko.

MANAJEMEN RISIKO

Resiko ada dimana-mana bisa datang kapan saja dan sulit dihindari. Jika resiko tersebut menimpa suatu organisasi, maka organisasi bisa mengalami kerugian. Dalam beberapa situasi resiko ini bisa menghancurkan organisasi. Karena itu resiko penting untuk dikelola. Manajemen resiko bertujuan untuk mengelola resiko, agar organisasi bisa bertahan, atau barangkali mengoptimalkan resiko. Perusahaan seringkali sencara sengaja mengambil resiko tertentu, karena melihat potensi keuntungan dibalik resiko tersebut. Dalam operasionalnya, manajemen resiko pada dasarnya dilakukan melalui proses-proses berikut :

1). IDENTIFIKASI RESIKO

Identifikasi resiko dilakukan untuk mengidentifikasi resiko-resiko apa saja yang dihadapi oleh suatu organisasi. Mulai dari resiko penyelewengan oleh karyawan, dll. Ada beberapa tehnik untuk untuk mengidentifikasi resiko, misalnya dengan menyusuri sumber resiko sampai pada peristiwa yang tidak diinginkan.

Secara umum langkah-langkah dalam identifikasi dan pengukuran resiko adalah sebagai berikut :

  1. Mengidentifikasi resiko dan mempelajari karakteristiknya
  2. Mengukur resiko tersebut, melihat seberapa besar dampaknya terhadap kinerja perusahaan, dan menentukan prioritas resiko tersebut.

Kemudian kita perlu mempelajari karakteristik resiko tersebut, serta melakukan evaluasi. Pemahaman yang baik terhadap karakteristik tersebut akan bermanfaat untuk merumuskan metode yang tepat untuk mengelola resiko tersebut. Langkah berikutnya adalah melakukan prioritisasi resiko, dimana kualifikasi resiko merupakan salah satu komponen terpenting dalam langkah tersebut. Melalui kualifikasi itu, kita bisa mengukur tinggi rendahnya resiko dan bagaimana dampaknya terhadap kinerja perusahaan. Selanjutnya kita bisa memfokuskan pada resiko yang paling relevan (misal, yang mempunyai dampak yang paling besar dan probabilitas yang besar) bagi perusahaan. Langkah selanjutnya adalah mengelola resiko dan kemudian revisit. Revisit adalah mengevaluasi ulang langkah-langkah yang sudah dilakukan, untuk meningkatkan efektivitas manajemen resiko.

Bagaimana mengidentifikasi resiko bila perusahaan atau organisasi mempunyai eksposur terhadap resiko tertentu. Beberapa teknik bisa digunakan, diantaranya ialah :

a).  Analisis Sekuen Resiko, yang berarti bahwa setiap resiko mempunyai sekuen dari sumber resiko sampai kemudian munculnya kerugian karena resiko tersebut. Analisis semacam ini sangat sesuai untuk eksposur aset fisik seperti gedung yang rentan terhadap kebakaran, bangunan yang rentan terhadap kebanjiran dsb. Meskipun demikian, analisis sekuen juga bisa digunakan untuk menganalisa resiko lainnya

b).  Identifikasi Sumber Resiko, adalah dengan memperluas pengamatan terhadap sumber-sumber resiko. Kemudian kita mencoba melihat resiko-resiko apa saja yang bisa muncul dari sumber-sumber resiko tersebut.

c).  Teknik pendukung lainnya

  1. Metode Laporan Keuangan, metode ini dimulai dengan melihat rekening-rekening dalam laporan keuangan. Kemudian dianalisa resiko apa yang bisa muncul dari rekening atau transaksi yang melibatkan rekening tersebut.
  2. Menganalisis Flow Chart Kegiatan dan Operasi Perusahaan, metode ini berusaha melihat sumber-sumber resiko dari flow-chart kegiatan dan operasi perusahaan. Metode ini sesuai untuk resiko seperti produksi, dimana dalam proses produksi dimulai dari masuknya input tertentu, pengerjaan input tersebut, sampai menjadi output tertentu. Dalam rankaian kegiatan produksi, ada kemungkinan munculnya kejadian yang tidak diinginkan, misal kecelakaan kerja, kerusakan mesin dsb.
  3. Analisis Kontrak, bertujuan melihat resiko yang bisa muncul karena kontrak tertentu. Resiko ini lebih berkaitan dengan tuntutan hukum. Spesifikasi kontrak yang tidak menyeluruh bisa menimbulkan celah-celah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Karena itu sedapat mungkin kontrak dituliskan dengan bahasa yang jelas (hitam putih), menyeluruh, untuk meminimalkan resiko seperti tuntutan hukum dan ganti rugi.

2) EVALUASI DAN PENGUKURAN RESIKO

Langkah berikutnya adalah mengukur resiko tersebut dan mengevaluasinya. Tujuannya adalah untuk memahami karakteristik resiko dengan lebih baik. Jika kita memperoleh pemahaman yang lebih baik, maka resiko akan lebih mudah dikendalikan. Evaluasi yang lebih sistematis dilakukan untuk ”mengukur” resiko tersebut.

Ada beberapa tehnik untuk mengukur resiko tergantung jenis resiko tersebut. Sebagai contoh kita bisa memperkirakan probabilitas (kemungkinan) resiko atau kejadian jelek terjadi. Dengan probabilitas tersebut kita berusaha ”mengukur” resiko.

Untuk resiko lain, evaluasi dan pengukuran yang berbeda bisa dilakukan. Sebagai contoh, resiko perubahan tingkat bunga bisa diukur dengan tehnik duration (durasi). Pemahaman kita terhadap beberapa resiko sudah cukup baik sehingga tehnik pengukuran resiko tersebut sudah berkembang. Sementara pemahaman kita terhadap resiko lain belum begitu baik sehingga tehnik pengukuran resiko belum begitu berkembang.

3)  PENGELOLAAN RESIKO

Setelah analisis dan evaluasi resiko, langkah berikutnya adalah mengelola resiko. Jika organisasi gagal mengelola resiko, maka konsekuensi yang diterima bisa cukup serius, misal kerugian yang besar. Resiko bisa dikelola dengan berbagai cara, seperti penghindaran, ditahan (retention), diversifikasi, atau ditransfer ke pihak lainnya. Erat kaitannya dengan manajemen resiko adalah pengendalian resiko (risk control), dan pendanaan resiko (risk financing).

a).  Penghindaran. Cara paling mudah dan aman untuk mengelola resiko adalah menghindar. Tetapi cara semacam ini barangkali tidak optimal. Sebagai contoh, jika kita ingin memperoleh keuntungan dari bisnis, maka mau tidak mau kita harus keluar dan menghadapi resiko tersebut. Kemudian kita akan mengelola resiko tersebut.

b).  Ditahan (Retention). Dalam beberapa situasi, akan lebih baik jika kita menghadapi sendiri resiko tersebut (menahan resiko tersebut, atau risk retention). Sebagai contoh, misalkan seseorang akan keluar rumah membekali sesuatu dari supermarket terdekat, dengan menggunakan kendaraan. Kendaraan tersebut tidak diasuransikan. Orang tersebut merasa asuransi terlalu repot, mahal, sementara dia akan mengendarai kendaraan tersebut dengan hati-hati. Dalam contoh tersebut, orang memutuskan untuk menanggung sendiri (menahan, retention) resiko kecelakaan.

c).  Diversifikasi. Berarti menyebar eksposur yang kita miliki sehingga tidak terkonsentrasi pada satu atau dua eksposure saja. Sebagai contoh, kita barangkali akan memegang aset tidak hanya satu, tetapi ada beberapa aset. Jika terjadi keugian pada satu aset, kerugian tersebut diharapkan bisa dikompensasi oleh keuntungan dari aset lainnya.

d). Transfer Risiko. Jika kita tidak ingin menanggung resiko tertentu, kita bisa mentransfer resiko tersebut ke pihak lain yang lebih mampu menghadapi resiko tersebut. Sebagai contoh, kita bisa membeli asuransi kecelakaan. Jika terjadi kecelakaan, perusahaan asuransi akan menanggung kerugian dari kecelakaan tersebut.

e).  Pengendalian Resiko. Dilakukan untuk mencegah atau menurunkan probabilitas terjadinya resiko atau kejadian yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, untuk mencegah terjadinya kebakaran, kita memasang alarm asap di bangunan kita. Alarm tersebut merupakan salah satu cara kita mengendalikan resiko kebakaran.

f).  Pendanaan Resiko. Pendanaan resiko mempunyai arti bagaimana ”mendanai” kerugian yang terjadi jika suatu resiko muncul. Sebagai contoh, jika terjadi kebakaran, bagaimana menanggung kerugian akibat kebakaran tersebut, apakah dari asuransi, ataukah menggunakan dana cadangan..? isu semacam ini masuk dalam wilayah pendanaan resiko.

4) RESIKO KREDIT ( Kredit Risk )

Sesungguhnya upaya untuk mengeliminasi pengaruh negative resiko kredit, ini terhadap permodalan bagi Perbankan di Indonesia telah direalisasikan. Pelaksanaannya telah dilakukan, bahkan sejak sebelum terjadinya krisis tahun 1997. hal itu diterapkan melalui ketentuan pembentukan pencadangan aktiva produktif (PPAP). Pencadangan ini besarnya didasarkan pada kualitas portofolio kredit masing-masing bank.

Membentuk PPAP merupakan langkah untuk melindungi permodalan bank dari kemerosotan setelah terjadinya resiko kredit sejalan dengan Basel Accord I. Namun, untuk itu kinerja bank harus mampu mencapai tingkat gross margin yang cukup agar dapat menyisihkan sebagian di antaranya sebagai pencadangan. Juga harus dipahami bahwa membentuk pencadangan tidak sama dengan mengelakkan terjadinya resiko kredit itu sendiri. Langkah itu hanya sekedar memberi tameng (perisai) dari bagi permodalan bank terhadap serangan resiko tersebut belaka.

  1. Resiko Kredit Bagi KSP/USP

Risiko Kredit (credit risk) adalah resiko kerugian yang diderita KSP/USP, terkait dengan kemungkinan bahwa pada saat jatuh tempo, counterpartnya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada KSP/USP. Singkat kata, credit risk adalah resiko kerugian bagi KSP/USP karena debitur tidak melunasi kembali pokok pinjamannya (plus bunga).

Sesungguhnya resiko kerugian itu dapat dialami oleh pihak-pihak lain pula di luar KSP/USP. Sebagai contoh adalah : personal investor para penabung yang menempatkan pendanaannya pada suatu investasi tertentu diluar cash products, apakah berupa tabungan, dana reksa, obligasi, saham dan sebagainya. Credit risk ini telah menyebabkan harapan investor memperoleh bunga serta pokok investasi maupun tabungannya ataupun capital gain beubah menjadi kerugian bila KSP/USP jatuh bangkrut.

Namun bagi KSP/USP resiko kerugian menyusul terjadinya credit risk merupakan resiko yang wajar terjadi mengingat hal itu terkait dengan bisnis intinya berupa lending-based business. Tambahan pula, bahwa KSP/USP merupakan lembaga dengan tingkat leverage atau debt-equity ratio yang tinggi. Fakta itu telah menyebabkan permodalan KSP/USP dapat tergerus habis seketika dalam waktu singkat bila para debiturnya memiliki default rates yang tinggi.

Sebagai contohnya :

Pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) merupakan salah satu penyebab dari demikian cepat dan dalamnya pengaruh Non Performing Loan (NPL) terhadap kemerosotan CAR (Capital Adequacy Rasio) perbankan di Indonesia ketika terjadi krisis tahun 1997. demikian tinggi dan meratanya tindak pelanggaran atas BMPK pada pereode sebelum krisis tersebut sesungguhnya menggambarkan betapa perbankan telah gagal menjalankan prudential banking practices.

Langkah ceroboh inilah yang telah mengundang berkecamuknya credit risk tersebut. Selanjutnya resiko kredit tersebut telah menjadi penyebab lebih dari separuh jumlah bank di Indonesia ketika itu. Berada dalam posisi insolvent.

Sementara itu, KSP/USP melakukannya melalui analisis kredit atau credit appraisal techniques. Hal ini dilakukan untuk memastikan unit usaha yang dibiayainya itu mampu melunasi kembali pinjaman yang diberikannya, ditambah pelunasan bunga. Khusus kepada KSP/USP yang lebih berorientasi pada pembangunan ketimbang semata pertimbangan komersial, credit appraisal techniques itu mengandung beberapa tujuan, yaitu antara lain :

  1. Merealisasikan pilihan investasi yang sejalan dengan strategi pembangunan sehingga memberi imbal hasil yang paling optimal.
  2. Menumbuh kembangkan entrepeneurship sebagai salah satu unsur modal dalam pembangunan.
  3. Menghasilkan value addet (nilai tambah) yang optimal bagi pembangunan.
  4. Mengurangi atau meniadakan ketergantungan Negara terhadap produk yang dihasilkan Negara lain.
  5. Memberikan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi penduduk Negara yang bersangkutan.

Dengan demikian, bila pertimbangan pembangunan itu juga diperhitungkan, credit risk bagi KSP/USP tidak terbatas hanya memberikan pengaruh negative terhadap permodalan koperasi semata. Lebih jauh dari itu, KSP/USP juga berperanan sebagai agent of development. Dengan demikian setiap resiko kredit merupakan ancaman pula bagi pembangunan perekonomian bangsa.

Resiko perkreditan yang terutama bagi KSP/USP adalah bahwa kredit menjadi macet dalam arti KSP/USP tidak lagi, atau tidak teratur dalam menerima bunga dan angsuran pelunasan kredit. Hal ini tentu saja akan merugikan KSP/USP karena disamping tidak memperoleh pendapatan bunga maka KSP/USP juga rugi.

Resiko macet ini memang sudah inherent atau sudah melekat pada sifat usaha KSP/USP di manapun, karena sebab-sebab pokok sebagai berikut :

1).  KSP/USP dalam memberikan fasilitas kredit selalu berurusan dengan perhitungan bagi masa depan. Jadi terdapat suatu gap atau waktu pemisah antara kejadian saat ini yakni kejadian pencairan dana dan kejadian pelunasan yang jangka waktuna ditetapkan dalam perjanjian perdata yang dibuat koperasi akan tetapi tetap saja semuanya berupa ramalan. Kejadian yang akan datang yang tidak menentu itu tidaklah sepenuhnya berada dalam kontrol atau pengendalian pejabat KSP/USP.

2).  Barang yang dipinjamkan berupa uang yang dapat dipakai habis oleh peminjam. Uang di zaman sekarang ini makin bersifat maya atau virtual yang lalu lintas pergerakannya tidak kasat mata. Uang dalam jumlah besar tidak lagi berupa lembaran-lembaran uang kertas akan tetapi berupa tagihan-tagihan dalam rekening atas nama para anggota KSP/USP. Namun bagaimanapun harus diusahakan bahwa pada akhir jangka waktu anggota peminjam harus menyediakan uang baik tunai maupun tagihan dalam rekening kepada KSP/USP sebagai pelunasan hutangnya.

3).  Usaha dalam bidang KSP/USP melalui pemberian kredit adalah usaha dagang biasa sehingga sebagaimana usaha dagang lainnya akan menghadapi resiko rugi atau kemungkinan akan memperoleh keuntungan. Barang dagangannya yakni uang sebagaimana barang dagangan lainnya juga menghadapi resiko hilang atau berkurang dalam proses perdagangan tersebut. Untuk itulah diperlukan asuransi yang dalam hal ini berbentuk barang jaminan disertai dengan pengenaan bunga sebagai tindakan pengamanan terhadap barang dagangan tersebut.

Berkenaan dengan resiko tersebut maka telah lama dikenali bahwa resiko yang terbesar adalah perubahan kondisi ekonomi suatu negara dimana perusahaan milik anggota itu beroperasi. Suatu krisis ekonomi yang hebat tentu saja juga akan berpengaruh pada jalanya perushaan milikanggota itu. Pasar menyempit, persaingan menggila sehingga barang produksi atau dagangan tidak laku. Inflasi meningkat atau nilai mata uang domestik merosot mengakibatkan biaya produksi dan distribusi meningkat.

Suatu gangguan ekonomi yang sistimik dan merebak cepat dan luas di luar negeri juga dapat mengakibatkan meningkatnya risiko usaha bagi anggota KSP/USP yang satu dengan lainnya, karena sifat usaha sekarang yang makin mendunia. Anggota eksportir yang mengharapkan pembayaran akan hasil ekspornya ataupun anggota yang industrinya bergantung pada pasokan bahan baku dari luar negeri tentu saja seketika dapat merasakan akibat gelombang krisis luar negeri. Upaya untuk meningkatkan daya tahan terhadap krisis luar negeri justru menjadi kewajiban pemerintah dalam mendesain kebijaksanaan moneternya sebagaimana dicontohkan oleh pemerintah Malaysia dan Singapura dalam masa krisis yang lalu.

Resiko besar lainnya adalah resiko terhadap perubahan sikap dan perangai atau atitude dari para anggotanya. Perubahan memang tidak datang dengan tiba-tiba akan tetapi berdasarkan suatu proses. Dalam hal ini para manajer KSP/USP dapat sedikit memperoleh waktu untuk mengamatinya akan tetapi bila baki debitnya memang sudah terlanjur tinggi maka tindakan pencegahannya tidak begitu efektif. Tindakan supervisi terhadap manajemen KSP/USP yang juga penuh resiko yuridik mungkin merupakan satu-satunya peluang bagi KSP/USP untuk memperoleh pelunasan.

  1. Beberapa aspek dalam resiko kredit

 i. Kerangka Berpikir KSP/USP dalam Pengambilan Keputusan Kredit

Terdapat perbedaan utama antara bidang industri pada umumnya dengan KSP/USP. Dalam bidang industri, pengusaha dapat menentukan sendiri secara independen mengenai berapa dan kapan harus mencari pendanaan untuk modal kerja, berapa dan kapan memulai kegiatan produksinya. Posisi independen yang demikian itu tidak terdapat dalam bidang KSP/USP. Dengan peranannya yang utama sebagai lembaga intermediasi, KSP/USP hampir dapat dikatakan tidak berada dalam posisi yang independen seperti terjadi pada bidang industri lain pada umumnya.

KSP/USP setiap saat berada ditengah antara arus cash-inflow dan arus cash-outflow yang harus dihadapinya. Dalam posisi yang demikian itu, sisi aktiva dan pasiva pada neraca KSP/USP telah terjadi ajang yang tidak hanya mencerminkan transaksi yang dilakukannya sendiri, namun juga menampung transaksi yang dilakukan masyarakat pula.

Bersamaan waktunya ketika KSP/USP menerima masuknya cash-inflow (simpanan), KSP/USP juga harus mengendalikan arus cash-outflow-nya. Dengan terdapatnya dana masuk secara netto, KSP/USP juga harus setiap saat mengambil keputusan berupa penyedian dana bagi para pemohon kredit yang datang ke KSP/USP. Dalam kaitan itulah KSP/USP memerlukan â€risk-reward decission framework” atau kerangka berpikir yang tepat ketika mengambil keputusan sesuatu pemberian kredit.

Dalam risk-reward decission framework tersebut selayaknya dimuat pedoman bagaimana KSP/USP melakukan seleksi atas permohonan kredit, bagaimana menyikapi peluang yang terbuka bagi kemungkinan penyediaan dana serta pembelian sekuritas tertentu. Pedoman inipun selayaknya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari credit appraisal techniques yang ditunjang oleh berbagai model perhitungan statistik.

ii. Gejala Mewabahnya Resiko Kredit

Terdapat gejala yang wajib diwaspadai dalam resiko kredit (credit risk). Gejala yang dimaksud adalah meluasnya pengaruh berantai yang memicu terjadinya liquidity risk yang merupakan systemic credit riskpada seluruh jajaran perbankan, termasuk didalamnya KSP/USP.

Resiko Kredit berupa propability of default tersebut mengakibatkan cash-inflow KSP/USP dari penerimaan bunga dan pelunasan pokok pinjaman tidak cukup untuk melayani cash-outflow penarikan dana-dana masyarakat dari KSP/USP.

Masalah likuiditas yang pada awalnya bersifat temporer ini dapat berubah menjadi structural bila surutnya cash-inflow tersebut disebabkan pula oleh merosotnya kualitas aktiva produktif yang dikelola KSP/USP. Permasalah likuiditas yang structural ini memerlukan waktu dan kucuran tambahan permodalan baru untuk mencegah terjadinya efek domino. Efek ini dapat menimpa jajaran KSP/USP lainnya yang dapat mengakibatkan timbulnya masalah likuiditas yang meluas.

Melalui efek domino ini pula terbentuk rantai yang menjalari seluruh perbankan termasuk KSP/USP dengan permasalahan likuiditas yang structural yang berakar dari terjadinya peningkatan non-performing loan (NPL) itu. Gejala itulah yang dikenal sebagai systemic credit risk.

Dengan demikian, credit risk dan liquidity risk merupakan dua resiko kembar yang mendasar bagi perbankan maupun KSP/USP. Hal ini pulalah yang menyebabkan bank sentral, para supervisor perbankan dan Pemerintah memusatkan perhatiannya pada kedua unsur resiko tersebut.

Penulis : H. YURNALIS, S.Sos
NIP : 19650112 1992031005
Penulis merupakan Widyaiswara Pertama pada Dinas Koperasi & UKM Provinsi RiauPengalaman Mengajar:

1. MATERI KOPERASI & UKM.
(PROVINSI.RIAU,KEP. RIAU,KEP.BABEL, SULAWESI TENGAH,BANJARMASIN, JAWA BARAT,KEMENTRIAN KOPERASI & UKM JAKARTA DAN PROVINSI LAINNYA)

2. MATERI KEPARIWISATAAN.
(PROVINSI RIAU,POLDA RIAU,AKADEMI PARIWISATA DAN SEKOLAH TINGGI PARIWISATA ENGKU PUTRI HAMIDAH, ASITA,PHRI,KEMENTRIAN PARIWISATA DAN KREATIF JAKARTA DAN PROVINSI LAINNYA).

asnbkd