Oleh: Harry Prabowo, S.STP., M.E.
Perencana Ahli Madya Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Riau
Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, gagasan Flexible Working Arrangement (FWA) mulai merambah sektor publik. Beberapa kementerian dan lembaga pusat telah mengadopsi sistem kerja fleksibel, baik dalam bentuk work from home (WFH), hybrid, maupun jam kerja yang lebih lentur. Bahkan, Kementerian PANRB melalui Peraturan Menteri PANRB Nomor 4 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Tugas Kedinasan Pegawai Aparatur Sipil Negara Secara Fleksibel pada Instansi Pemerintah telah memberikan payung hukum untuk penerapan fleksibilitas kerja di instansi pemerintah, meski sifatnya opsional, bukan mandatori.
Namun, apakah model ini relevan untuk birokrasi daerah, khususnya di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau?
Mengapa Pemprov Riau Perlu Berpikir Ulang?
Meski regulasi memberikan keleluasaan bagi instansi untuk menerapkan fleksibilitas kerja secara sukarela, Pemprov Riau perlu berpikir dua kali sebelum terburu-buru mengadopsinya. Justru karena sifatnya yang opsional, instansi daerah dituntut lebih bijak menimbang kesiapan internal. Tanpa fondasi sistem pengawasan yang kuat dan budaya integritas yang solid, fleksibilitas kerja justru berisiko menjadi celah baru untuk ketidakefisienan dan penurunan kualitas pelayanan publik. Lebih dari itu, di tengah persepsi masyarakat yang sudah skeptis terhadap kinerja birokrasi, penerapan kebijakan ini dapat memperburuk citra pemerintah daerah.
Pengawasan yang Belum Siap
Salah satu tantangan utama dalam penerapan fleksibilitas kerja di Pemda adalah lemahnya sistem pengawasan internal untuk kerja jarak jauh. Penelitian Choudhury, Foroughi, dan Larson (2021) berjudul “Work-from-anywhere: The productivity effects of geographic flexibility” dalam Strategic Management Journal menunjukkan bahwa meskipun work-from-anywhere dapat meningkatkan produktivitas dalam konteks tertentu, hal ini sangat bergantung pada kesiapan sistem pengawasan dan budaya organisasi yang mendukung.
Meski sistem penilaian kinerja ASN telah bertransformasi berbasis hasil kerja melalui Permenpan RB Nomor 6 Tahun 2022, implementasinya masih menghadapi kendala dalam dialog kinerja antara pimpinan dan pegawai, terutama dalam memberikan umpan balik berkelanjutan secara jarak jauh. Tantangan utama muncul karena sulit melakukan monitoring pegawai saat bekerja dari rumah dibandingkan pengawasan langsung di kantor, yang memerlukan sistem yang baik namun tidak terlalu kaku dalam peraturan.
Tanpa sistem pengawasan berbasis teknologi yang memadai, serta indikator penilaian kinerja individu yang solid, fleksibilitas kerja berisiko membuka celah bagi ketidakefisienan. Permasalahan yang muncul antara lain hilangnya motivasi kerja karena tidak ada pengawasan langsung dari atasan, yang ditandai dengan pekerjaan yang selalu terlat dari deadline yang sudah ditentukan. Inilah mengapa kesiapan infrastruktur monitoring digital menjadi prasyarat mutlak sebelum menerapkan sistem kerja fleksibel.
Krisis Integritas yang Belum Teratasi
Lebih dari sekadar teknis pengawasan, masalah yang lebih mendasar adalah integritas. Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) oleh KPK tahun 2024 menunjukkan bahwa rerata nilai se-Provinsi Riau mencapai 70,44, namun Pemerintah Provinsi Riau sendiri mendapat skor lebih rendah yaitu 62,83. Skor ini turun sebanyak 5,97 poin dari tahun sebelumnya, menempatkan Pemprov Riau dalam kategori “Rentan”.
Untuk mencapai kategori “Waspada”, Pemprov Riau harus meningkatkan skor sebanyak 10,17 poin, sementara indeks nasional berada di 71,53. Kondisi ini mencerminkan masih lemahnya budaya kerja yang berorientasi pada akuntabilitas dan pelayanan publik di tingkat pemerintah provinsi.
Bukti terbaru menunjukkan masalah disiplin ASN di Riau masih menjadi perhatian. Pada Juli 2025, viral video TikTok yang memperlihatkan pegawai berseragam Pemda nongkrong di kedai kopi saat jam kerja. Pasca viral tersebut, Inspektorat Pemprov Riau bersama Satpol PP melakukan razia dan berhasil menjaring 7 ASN lain yang juga nongkrong di kedai kopi saat jam kerja, dengan rincian 3 dari Sekretariat DPRD Riau, 3 dari Disnakertrans, dan 1 dari Dinsos. Viralnya kasus awal hingga ditemukannya pelanggaran serupa menunjukkan rendahnya kesadaran disiplin sebagian ASN.
Dalam kondisi seperti ini, menerapkan fleksibilitas kerja justru bisa memperburuk situasi. Tanpa fondasi integritas yang kuat, fleksibilitas kerja bisa menjadi dalih untuk menghindari tanggung jawab, memperlemah disiplin, dan mengaburkan akuntabilitas.
Persepsi Masyarakat dan Risiko Citra Pemerintah
Penerapan fleksibilitas kerja di tengah kondisi integritas yang masih rendah berpotensi memperburuk persepsi masyarakat terhadap ASN. Kasus viral video TikTok dan ditemukannya 7 ASN lain yang nongkrong di kedai kopi saat jam kerja menunjukkan tingginya kepekaan masyarakat terhadap perilaku pegawai negeri.
Dalam konteks ini, memberikan “privilege” kerja fleksibel kepada ASN justru berisiko menimbulkan sentimen negatif. Masyarakat yang sudah skeptis terhadap kinerja birokrasi akan menganggap kebijakan ini sebagai bentuk “kemudahan tambahan” bagi pegawai yang kinerjanya masih dipertanyakan. Di saat masyarakat menghadapi berbagai tantangan ekonomi, pemberian fasilitas kerja yang lebih fleksibel kepada ASN dapat dipersepsikan sebagai ketidakpekaan pemerintah terhadap kondisi rakyat.
Timing implementasi FWA menjadi sangat krusial. Kebijakan ini sebaiknya diterapkan setelah kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pulih dan kinerja pelayanan publik menunjukkan peningkatan signifikan.
Pembelajaran dari Implementasi Global
Memang benar, fleksibilitas kerja telah menunjukkan hasil positif di berbagai negara. FWA menawarkan berbagai manfaat potensial, termasuk peningkatan work-life balance pegawai, efisiensi operasional melalui pengurangan biaya operasional kantor, fleksibilitas dalam perekrutan talenta dari berbagai lokasi geografis, serta peningkatan kepuasan kerja yang dapat menurunkan tingkat perpindahan pegawai. Dalam konteks pelayanan publik, FWA juga dapat memungkinkan pelayanan yang lebih responsif melalui jam kerja yang diperpanjang dan akses digital yang lebih luas.
Sebuah meta-analisis oleh Çivilidağ dan Durmaz (2024) yang meneliti hubungan antara pengaturan kerja fleksibel dan kinerja karyawan menunjukkan korelasi positif tinggi antara pengaturan kerja fleksibel dan kinerja karyawan. Temuan serupa juga dihasilkan oleh meta-analisis Shifrin dan Michel (2022) dalam jurnal Work & Stress yang meneliti dampak FWA terhadap kesehatan karyawan, menunjukkan bahwa FWA terkait dengan kesehatan fisik yang lebih baik, pengurangan absensi, dan gejala somatik yang lebih sedikit. Berdasarkan bukti-bukti empiris seperti ini, berbagai negara mulai mengadopsi FWA secara formal. Singapura, misalnya, meluncurkan Tripartite Guidelines on Flexible Work Arrangement Requests pada April 2024, yang mulai berlaku 1 Desember 2024, memberikan hak formal bagi pekerja untuk mengajukan pengaturan kerja fleksibel kepada pemberi kerja.
Namun, keberhasilan tersebut dicapai dengan fondasi yang kuat. Bahkan di Singapura yang maju, implementasi memerlukan persiapan bertahap dengan sumber daya pelatihan yang diluncurkan secara progresif untuk membantu organisasi mengimplementasikan FWA secara efektif. Keberhasilan implementasi FWA sangat bergantung pada membangun budaya kepercayaan di tempat kerja.
Sementara itu, realitas di Indonesia menunjukkan kondisi yang berbeda. Hasil SPI 2024 Provinsi Riau yang turun signifikan, ditambah kasus viral ASN yang ditemukan nongkrong saat jam kerja, mengindikasikan bahwa fondasi kepercayaan dan budaya kerja yang diperlukan untuk suksesnya fleksibilitas kerja belum terbangun dengan baik.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Keleluasaan yang diberikan regulasi untuk menerapkan fleksibilitas kerja secara opsional seharusnya dimanfaatkan dengan bijak. Pemprov Riau dan Pemda lainnya sebaiknya tidak tergesa-gesa mengadopsi tren global tanpa mempertimbangkan realitas lokal. Prioritas saat ini adalah membenahi fondasi terlebih dahulu dengan memperkuat sistem pengawasan berbasis kinerja, membangun budaya integritas melalui program berkelanjutan, dan meningkatkan kapasitas SDM serta infrastruktur teknologi.
Memang secara teknis fleksibilitas kerja bisa dicoba terbatas pada beberapa jabatan tertentu. Namun, ketiga masalah utama yang telah dipaparkan akan tetap muncul meski penerapannya terbatas. Bahkan bisa lebih rumit karena menciptakan ketimpangan treatment antar ASN dan menimbulkan pertanyaan dari masyarakat mengapa sebagian pegawai mendapat “privilege” di saat kinerja birokrasi masih dipertanyakan. Timing yang tepat menjadi kunci lebih penting dari sekadar kelayakan teknis.
Baru setelah fondasi ini kokoh, yang diperkirakan memerlukan waktu 2-3 tahun dan ditandai dengan peningkatan skor SPI ke kategori “Waspada”, fleksibilitas kerja bisa diterapkan secara pilot pada jabatan-jabatan tertentu yang memang cocok. Dengan pendekatan bertahap ini, fleksibilitas kerja bisa menjadi solusi untuk peningkatan kinerja birokrasi, bukan sumber masalah baru yang justru merugikan pelayanan publik.
Reformasi birokrasi bukan soal mengikuti tren, tetapi tentang memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Dan justru karena tidak diwajibkan, kita harus lebih selektif dalam menerapkannya.
—
Sumber dan Referensi:
- Peraturan Menteri PANRB Nomor 4 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Tugas Kedinasan Pegawai Aparatur Sipil Negara Secara Fleksibel pada Instansi Pemerintah
- Peraturan Menteri PANRB Nomor 6 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Kinerja Pegawai Aparatur Sipil Negara
- Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK Tahun 2024 – Provinsi Riau
- Tripartite Guidelines on Flexible Work Arrangement Requests, Singapore Ministry of Manpower, April 2024
- Çivilidağ, A., & Durmaz, E. (2024). Examining the relationship between flexible working arrangements and employee performance: a mini review. Frontiers in Psychology, 15, 1398309
- Shifrin, N. V., & Michel, J. S. (2022). Flexible work arrangements and employee health: A meta-analytic review. Work & Stress, 36(1), 60-85
- Choudhury, P., Foroughi, C., & Larson, B. (2021). Work-from-anywhere: The productivity effects of geographic flexibility. Strategic Management Journal, 42(4), 655-683
- https://www.iniriau.com/detail/47980/inspektorat-riau-temukan-7-asn-nongkrong-di-warung-kopi-saat-jam-kerja